Selasa, 16 Juni 2009

stress

Peranan Ilmu Psikologi

Dalam linkup sains modern, kajian stres termasuk salah satu objek studi psikologi. Psikologi adalah studi tentang pikiran dan bagaimana pengaruhnya terhadap prilaku (Kamus Oxford, hlm. 1022). Dengan bahasa sederhana, psikologi dapat siterjemahkan sebagai studi ilmu kejiwaan. Di dunia kedokteran dikenal istilah psikiatri lebih, yaitu studi dan penangganan gangguan mental. Psikologi lingkupnya luas, sedang psikiatri lebih khusus pada studi penagganan gangguan jiwa secara medis. Dalam praktik, masyakat sering tidak membedakan antara seseorang dan psikiater.
Ilmu psikologi tumbuh dari kultur masyarakat Barat. Ia muncul dari salah satu titik dinamika sosial di Eropa. Kegairahan masyarakat Eropa terhadap ilmu pengetahaun (science). Ilmu pengetahuan dianggap sebagai alternatif pengganti dogma-dogma ajaran gereja. Saat itu muncul semangat yang bertujuan mengamputasi peranan agama (gereja) dari kehidupan publik. Semangat sukalarisme tumbuh membabi buta, menolak semua yang berbau agama termasuk ajaran Islam. Padahal kebangkitan ilmu pengetahuan di dunia Islam ( khususnya di Andalusia, Spanyol).
Ketika masyarakat menjatuhkan “talak tetep” terhadap agama, mereka kebinggungan mencari pengantinya. Mereka tidak mau kembali ke agama, namun juga sangat membutuhkan nikai-nilai yang bisa mengisi kekosonagan jiwanya. Di sinilah, dunia barat menemukan psikologi sebagai solusinya. Psokologi bisa diartikan sebagai “agama bagi para penganut ideologi sains modern.
Stres termasuk topik besar dalam studi psikologi. Bahkan disini, studi psikologi dituntut untuk membuktikan peranan konkertnya. Paling tidak, psikologi harus mampu mengganti peranan agama di mata orang-orang yang sudah tidak lagi mempercayai agama. Psikologi harus mampu mengisi jiwa-jiwa manusia yang telah kosong dari iman dan keyakinan.
Di bagian ini kita akan membahas tentang peranan studi psikologi dalam mengatasi problem stres. Paparan ini sekaligus sebagai perbandingan sebelum kita mengkaji cara-cara Islam dalam mengatasi persoalan yang sama.
A.Psikologi Sebagai Solusi
Menurut pandangan psikologi, beberapa cara untuk mengatasi stres, yaitu:
(1) makan makanan bergizi;
(2) mengurangi makan yang berlemak ;
(3) menghindari bunyi-bunyi bising (lebih dari 85 decibel);
(4) menjalani hidup lebih santai (tidak terlalu menuntun);
(5) membangun reputasi diri yang tinggi. Adapun terapi-terapi untuk mengatasi stres, yaitu: meditasi, yoga, relaksasi, dan biofeeback.
Demikianlah penjelasan dari situs UMS Malaysia.
Meditasi, dalam bahasa kita di kenal dengan istilah semedi atau bertapa. Seseprang mengasingkan diri, duduk bersila dengan tenang,. Memusatkan pikiran, mengatur napas secara teratur, kadang sambil membaca mantra-mantra tertentu. Di negara-negara yang berkultur Hindu dan Budha, praktik serupa di kenal dengan istilah yoga (atau meditasi yoga). Relaksasi bermakna luas. Ia bisa berupa praktik semedi seperti di atas atau dengan mengendurkan otot-otot tubuh, mengambil napas secara dalam, berpikir rileks, dan lain-lain. Adapun biofeedback merupakan teknik pengendalian saraf-saraf tak sadar (otonom) melalui tindakan pemberian hadiah atau hukuman, untuk mengarahkan fungsi saraf-saraf otonom tersebut. Biofeedback dilakukan dengan bantuan peralatan canggih electroencephalograph untuk mengetahui aktivitas listrik yang sedang terjadi di otak
Herbert Benson, M.D., seoarng peneliti di Fakultas Kedokteran Harvard, menganjurkan metode respons relaksasi (the relaxation response) sebagai solusi stres. Respons relaksasi sebenarnya merupakan pegembangan dari transcendental meditation yang dkembangkan di Amerika oleh seorang guru dari India, Yogi Maharishi Mahesh. Ia adalah pengembangan luwes dari meditasi yoga.
Praktik respons relaksasi dilakukan dengan cara:
(1) duduk tenang dengan posisi nyaman;
(2) menutup mata;
(3) mengendurkan semua otot-otot (dari otot kaki sampai otot wajah);
(4) bernapas melalui hidung secara teratur, sambil mengucapkan kata “satu” di setiap tarikan napas, dilakukan sacara alami dan wajar;
(5) langkah ini dilakukan selama 10-20 menit. Setelah selesai, duduk sebentar sambil menutup mata, lalu membuka mata, kemudian boleh berdiri;
(6) hindari kecemasan, pertahankan sikap pasrah, jika muncul pikiran mengganggu abaikan saja dan mulai mengucapkan kata “satu”. Hal ini dilakukan sekali atau dua kali dalam sehari (Herbert Benson, 2000: 176-177).

Don R. Powell, Ph.D., presiden dan pendiri American Institute for Preventive Mendicine, di Southfield, michigan, dalam buku 365 Health Hints, membahas persoalan stres dalam porsi yang memadai (22 poin dari 365 poin yang dia sarankan) secara umum, powell ingin merangkum semua “kemungkinan” solusi psikologi yang ada.
Di antara solusi-solusi yang dianjurkan oleh Powell, antara lain: berbagi perasaan dengan orang lain, berolah raga fisik, mandi dengan air hangat, minum the ramuan obat tradisianal, melakukan relaksasi, menggunakan imajinasi untuk meredahkan ketegangan, memanfaatkan teknologi biofeedback, melakukan terapi flotasi, jangan takut menangis, tertawa sepuasnya, belajar menerima kritik, berfikir positif (positif thinking), mengatur waktu, tenang saat kemacetan, berhati-hati terhadap gejala Burnout, dan lain-lain (Don R. Powell, 2001: 254-285)
Sealin itu, juga dikenal terapi melalui obat-obatan, baik obat kimiawi maupun obat alami. Obat-obat kimiawi banyak digunakan di rumah sakit jiwa atau pusat-pusat pemulihan gangguan jiwa. Namun, ada juga obat kimiawi yang di jual di pasaran sebagai terapi ringan pereda stres. Adapun obat seperti nostresa, konon dibuat dari bahan-bahan alami. Ia berpengaruh terhadap saraf pusat (otak), saraf simpatik, kadar hormonal/glukosa, dan kadar kolesterol.
Pasca tragedi Tsunami 26 Desember 2004, ribuan masyarakat aceh mengalmi stres dan trauma pascabencana. Menyadari kenyataan ini, banyak kedatangan para sukarelawan dari berbagai negara untuk memberi terapi-terapi pereda stres. Terapi yang dilakukan berupa pemijatan tubuh, merangsang tubuh dengan sentuhan-setuhan halus, serta mendengar keluh kesah korban. Ini adalah praktik riil yang terjadi beberapa bulan lalu.
B. Kelemahan Studi Psikologi
Di atas telah dikemukakan berbagai solusi problem stres menurut disiplin ilmu psikologi. Secara teoristis, kita menemukan kelemahan-kelemahan mendasar dari penerapan metode psikologi itu. Bahkan, ia belum menjawab persoalan inti dari stres itu sendiri. Berikut ini beberapa catatan kritis yang bisa dikemukakan.
1. manfaat dari terapi psikologi hanya bersifat sementara, tidak berkelanjutan seperti yang di harapkan oleh semua orang. Misalnya terapi respons relaksasi yang diajurkan Herbert Benson. Terapi seperti itu hanya mengajak seseoramg tenang untuk sementara. Di sana orang diajak hening, sementara waktu melupakan semua beban pikiran. Lalu bagaimana setelah selesai menjalani terapi, seseorang kembali kedunia nyata, berhadapan dengan berbagai problem hidup riil? Hal serupa juga berlaku untuk terapi-terapi lain seperti biofeedback, flotasi, pemijatan tubuh, sentuhan halus, mengkonsumsi obat, dan lain-lain.
2. terapi psikologi hanya mampu mendinginka keadaan emosi seseorang, bulan memberikan ketentraman baginya. Metode berbagi perasaan, mandi air hangat, olahraga, berimajinasi, dan lain-lain hanya mendinginkan dari ketegangan. Ia tidak memberi sakinah seperti yang diharapkan. Ibarat kompor yang terbakar psikologi seperti kain yang basah yang bisa memadahkan api. Namun ia tidak bisa mematikan potensi api (bahan bakar) dari kompor itu
3. terapi-terapi psikologi tidak menyentuh sebab-sebab pemicu stres. Misalnya seseorang stres karena alasan kesempitan ekonomi. Bagaimana stres akan tertasi jika kondisi orang itu semakin hari semakin buruk? Mungkinkah upaya semedi bisa meredahkan kekecewaan hati seseorang yang beru terkena phk?
4. pendekatan psikologi tidak membentuk karakter kepribadian. Psikologi seperti permainan di permukaan. Ia tidak menyentuh akar terdalam kepribadian seseorang. Seandainya psikologi mampu menyentuh akar terdalam itu, ia tidak memberi warna yang jelas. Seseorang yang benar-benar hidup berlandaskan nilai-nilai psikologi tidak memperhatikan suatu karakter yang jelas.
5. Dalam banyak hal, psikologi hanya tampak menawan sebagai kumpulan teori- teori yang sulit diterapkan secara nyata. Psikologi bisa menjelasakan secara mengesankan berbagai bentuk manusia, disertai analisis latar belakang dan dampak-dampaknya. Namun, ia tidak mampu mengarahkan manusia mencapai sasaran-sasaran kebahagian sejati yang diharapkan.
Secara faktual, studi psikologi telah lama di kenal di dunia barat. Sejak Renaissance (abad 14-15 M), barat membutuhkan konsep ilmu jiwa( psikologi) sebagai pengganti dogma gereja. Psikologi telah dirindukan kedatangannya sejak zaman itu. Namun setelah ratusan tahun berjalan, kehidupan masyarakat di barat menampakan tanda-tanda kebahagian seperti yang diharapkan oleh studi psikologi itu sendiri. Mereka bukan bertambah bahagia, justru semakin sakit, hal ini diakui secara luas oleh pakar-pakar terpandang di barat.
Dale Carnigie mangatakan, saya telah tinggal di New York selama 37 tahun, da tak ada seorang pun yang mengetuk pintu rumahku dan memperingatkan bahawa penyakit emosi yang disebut “cemas” (worrying), suatu penyakit yang telah membuktikan dirinya sebagai pembunuh 10.000 kali lebih ganas dari penyakit cacar. Yah, tidak ada seorang pun yang pernah mengetuk pintu rumahku buat memperingatkan kepadaku bahwa tiap-tiap seorang dari sepuluh orang amerika terancam penyakit penyimpanan pribadi yang kebanyakan berakibat oleh rasa cemas!”
Carnegie mengutip dari hasil penelitian Dr. Harold C. Habien yang dipaparkan di hadapan american Association of Industrial Physicians and Surgeon bahwa sepertiga lebih para usahawan muda Amerika renta terkena penyakit jantung , mag, dan tekanan darah tinggi, akibat hidup yang penuh dengan ketegangan. Dalam hal ini Cargenie berkomentar “Inikah harga sukses itu? Dapatkah seseorang yang terpaksa membayar kemajuannya dengan penyakit jantung atau mag disebut sukses? Apakah keuntungannya bagi seseorang yang mendapatkan seluruh dunia, tetapi kehilangan kesehatannya? (Muhamad al-Ghazali, 1996: 34-35).
Sementara itu, Dor R. Powell mengatakan “kita(bangsa Amirika, pen.) adalah bangsa dari orang pesimis. The National Institute of Mental Health melaporkan bahwa kegelisahan merupakan masalah kesehatan mental yang sering di alami penduduk america. Hampir tiga belas juta orang Amerika menghabiskan sebagian waktu baiknya untuk perasaan gelisah. Mereka terlalu banyak khawatir” (Dor R. Powell, 2001: 271).
Sedang Herbert Benson mengatakan “Rakyat Amerika Serikat minikmati standar hidup dan kesejahteraan di atas mayoritas masyarakat dunia. Akan tetepi, sebagai individu dalam keserbaberlebihan, kita dihadapi ketidakbahagiaan dengan. Tampaknya kita tidak pernah meresa puas dengan yang kita capai atau miliki, bisa jadi ini melekat di masyarakat Barat sekarang yang mengangap kemajuan keberhasilan dan kemajuan, berapa pun ongkos yang harus dikeluarkan. Adalah ungkapan-ungakapn permainan. (prinsip yang banyak dianut, Pen), pergilah keluar, railah sebanyak mungkin, jangan puas dengan yang ada pada anda sekarang” (Herbert Benson, 2000: 190).
Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence-nya atau Stephen R. R Covey dengan 7 Habits-nya, juga menyebutka data-data atau indikasi tenteng kekacauan prilaku dan mental luas melanda masyarakat Amerika (Barat). Fenomena Seks bebas, pornografi, penyalah-gunaan Narkoba, kriminalitas, kekerasan, bunuh diri, dan lain-lain merupakan bukti nyata bahwa masyarakat barat sedang mengalami krisis rohani hebat. Sampai di sini, psikologi tidak bisa memperlihatkan dirinya sebagai obat rohani seperti yang diharapkan oleh para pemikir seluler. Alih-alih menjadi solusi, bahkan ia memperpanjang daftar problem kemanusiaan yang ada.
Jika psikologi bisa membuktikan dirinya sebagai sebuah konsep keilmuan yang benar-benar bermanfaat, sudah tentu masyarakat manusia akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Bahkan, psikologi bisa menjadi “agama modern” yang berkembang sangat pesat dan meluas. Namun kenyataanya, psikologi hanya ilmu formalitas yang sepi pengaruh dan kering makna.
C. kelemahan Fundamental
Kegagalan peran psikologi di hadapan berbagai problem menusia modern adalah sesuatu yang mudah dipahami. Konsep ilmu psikologi sendiri berdiri atas landasan yang lemah, dangkal, dan sempit.
Sejak semula psikologi dikenalkan di tengah-tengah menusia dengan motivasi buruk, yaitu mengganti peran agama. Psikologi bisa dianggap sebagai agama bagi manusia-manusia yang tidak mau mempercayai nilai-nilai keyakinan agama. Di negara-negara komunis, studi psikologi mendapatkan tempat yang sangat hangat. Tokoh-tokoh yang banyak dianut pemikirannya dalam studi ini, misalnya Charles Darwin, Karl Marx, Sigmund Freud, atau Frederick Nietzsche, sedang tokoh-tokoh tersebut adalah musuh-musuh agama (Islam).
Di sisi lain, psikologi tidak memberikan tempat bagi Tuhan (baca: Allah swt.) dan nilai-nilai keimanan. Seburuk-buruk situasi masyarakat Romawi di masa lalu, mereka masih mengenal Tuhan. Upaya memutus hubungan antara Tuhan dan manusia ini. Jelas merupakan inti dari segala kelemahan, kehinaan, dan kebangkrutan.
“Maka siapa yang mengingkari Thagut (segala sesembahan selain Allah) dan dia beriman kepada Allah sesungguhnya ia telah berpegang dengan simpul tali yang amat teguh yang tidak akan pernah terputus. Dan Allah maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 256)
Selain itu, psikologi tidak mempercayai eksistensi jiwa (ruh) manusia. Istilah paling tinggi yang diberikan untuk jiwa adalah alam bawah sadar (the unconscious). Menarik mencermati buku Emotional-Intelligence (EI) karya Daniel Goleman. Buku ini mendapat sambutan luar biasa dari publik dunia. Tidak kurang, Hallary Rodham Clinton (istri Bill Clinton) memuji buku EI itu dengan pujian tinggi namun disana, Goleman menjelaskan prilaku-prilaku emotional manusia dengan pendekatan yang materialistis. Setiap prilaku manusia dia carikan pembenaran dari fungsi-fungsi sel saraf yang ada di otak kanan dan kiri.
Goleman ( dan para pemikir psikologi lainnya) tidak mau mengakui keberadaan jiwa (the soul) sebagai pemdorong utama di balik setiap prilaku manusia. Anjuran Goleman untuk memperhatikan kecerdasan emosi (EQ), selain kecerdasan intelektual (IQ), adalah seruan yang layak untuk dihargai. Namun, mengenbalikan semua urusan emosi ke analisis fungsi sel saraf di otak kanan dan kiri, justru mementahkan kembali semangat Emotional Intelligence itu. Hal ini sama saja mengulang-ulang kembali logika kaum meterialis, padahal dominasi IQ terhadap EQ terjadi justru karena semangat materialisme itu.
Dr. Robert E. Ornstein dalam bukunya the Psykology of Consciousness, mengatakan, “pendekatan barat yang ilmiah objektif dan tak pandang bulu, dengan penekanan eksklusifnya pada logika analisis, menyulitkan sebagian besat kita untuk memahami suatu psikologi yang didasarkan pada keberadaan yang lain, yaitu satu cara berpikir intuitif (dengan perasaan, pen. ) yang menyeluruh (intuitive gestalt mode of thought)” (Herbert Benson, 2000: 122-123).
Jika menyimak pemikiran-pemikiran para penulis populer Barat seperti Dale Carnegie, Stephen R. Covey, Bobbi Deporter, Tory Heyden, dan lain-lain. Mereka tidak mengembangkan konsep psikologi kaku seperti yang telah disebutkan diatas. Mereka bersikap luwes, memberikan perhatian tinggi terhadap jiwa manusia, bahkan sebagian sangat Religius.
Di bagian akhir bukunya, The 7 Habits of Highly Effective People, Stephen R. Covey menulis tentang Catatan Pribadi. Di sini saya kutip utuh catatan tersebut, yaitu sebagai berikut.
“Sewaktu menyimpulkan buku ini, saya ingin menceritakan keyakinan pribadi saya sendiri sehubung dengan apa yang saya percaya merupakan sumber dari prinsip-prinsip yang benar. Saya percaya bahwa prinsip-prinsip yang benar adalah hukum alam dan bahwa Tuhan, sang Pencipta, adalah sumber dari segalanya, dan juga sumber suara hati kita. Saya percaya bahwa sampai tingkat dimana manusia hidup menurut suara hati ini, mereka akan tumbuh untuk memenuhi sifat dasar meraka; samapai tingkat di mana meraka tidak hidup menurut suara hati ini, meraka tidak akan tumbuh melebihi dunia binatang.
Saya percaya bahwa ada bagian dari sifat manusia yang tidak dapat di capai melalui undang-undang atau pendidikan, tetapi memerlukan kekuatan Tuhan untuk mengatasinya, saya percaya sebagai manusia, kita tidak dapat menyempurnakan diri kita sendiri. Sampai tingkat di mana kita menyelaraskan diri kita dengan prinsip yang benar, anugrah Ilahi akan diserahkan pada sifat kita sehingga memungkinkan kita memenuhi ukuran ciptaan kita. Dalam kata-kata Teilhard de Chardin: kita bukan manusia yang memiliki pengalaman spritual. Kita adalah makhluk spiritual yang memiliki pengalaman manusia.
Saya secara pribadi berjuang untuk apa yang saya sudah ceritakan dalam buku ini. Tetapi perjuangan tersebut berharga dan memuaskan. Perjuangan ini memberi makna bagi hidup saya da memungkin saya untuk mengasihi, melayani, dan berusaha lagi. Kembali, T .S. Eliot mengekspresikan dengan begitu indah penemuan dan keyakinan pribadi saya: kita tidak boleh berhenti menjelajahi. Dan akhir semua penjelajahan kita adalah untuk tiba di mana kita memulai dan untuk menyadari tempat tersebut untuk pertama kalinya” (Stephen R. Covey, 1997: 319. Ini adalah halaman akhir sebelum lampiran-lampiran).
Kalimat-kalimat yang ditulis oleh Stephen Covey di atas merupakan tikaman luar biasa terhadap konsep inti studi psikologi. Covey bukan saja menolak pradignma materialisme, namun dia juga menunjukkan bahwa yang dia pilih berharga, memuaskan, dan memberi makna hidup.
Terakhir, hanya sekedar tambahan, yaitu berkembang terapi kedokteran mutakhir. Di berbagai rumah sakit di berbagai negara maju telah banyak di terapkan pemberian bimbingan rohani di samping terapi medis.menurut penelitian, bimbingan rohani terbukti mempercepat tingkat kesembuhan pasien. Bimbingan rohani bisa meningkatkan optimisme dan ketenangan jiwa pasien, hal ini sanagt positif pengaryhnya bagi proses terapi medis yang dilakukan.
C. Mengambil Manfaat
Studi di bidang psikologi telah memakan energi luar biasa, baik di ukur dari waktu, pikiran, tenaga, juda dana. Di balik pengorbanan besar yang telah di tempuh, tentu ada titik-titik kebaikan yang bisa diambil. Allah ta’ala Maha Pemurah, tidak menjadikan daya upaya manusia, meskipun dirinya ingkar, sia-sia belaka. Dari sisi-sisi tertentu, kita masih bisa mengambil manfaat dari studi psikologi.
Khazanah ilmu psikologi jika diuraikan bisa beberapa bagian penting, yaitu:
1) Dasar-dasar ideologi dan pemikiran materialisme;
2) Pendapat Subjektif tokoh-tokoh filosof atau pemikir psikologi tentang keperibadian manusia;
3) Hasil-hasil penelitian prilaku sosial manusia;
4) Metodologi analisis, penelitian, dan aplikasi nilai-nilai etika dalam kehidupan sehari-hari.
Poin pertama, tentang ideologi materialisme, harus ditolak mentah-mentah dan dijauhkan sama sekali dari pikiran manusia, semua itu adalah ide-ide kekafiran dan destruksi kehidupan manusia, poin kedua, juga harus ditolak kerena tidak banyak berguna, dari manusia-manusia sakit akan muncul pemikian-pemikiran yang sakit juga. Sedang untuk poin ketiga, dan keempat, bisa dimanfaatkan selama masih lurus dan dalam batas-batas yang wajar. Studi sebaiknya diarahkan hanya untuk meraih dua poin terakhir itu.
Akan lebih baik lagi jika para pemikir dan cendekiawan Islam berlomba-lomba menghidupi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan metode-metode yang baik dan bijak dari khazanah ilmu pengetahuan modern. Tidak ada salahnya kita mengambil metode-metode itu, sebab ilmu yang baik, ia bersumber dari rahmat (kasih sayang) Allah. Ilmu pengetahuan modern tidak semuanya baik, namun tidak semuanya buruk. Di antara hasil-hasil jerih payah manusia itu ada kebaikan-kebaikan tertentu yang bisa dimanfaatkan.
Terkait dengan solusi stres, kita bisa mengambil sebagain kecil dari metode-metode psikologi, terutama untuk terapi-terapi yang bersifat sementara. Namun, untuk meraih solusi yang paripurna (sempurna) kita harus kembali ke ajaran-ajaran agama (Islam). Stres berakar dari persoalan kejiwaan (nafsiyyah), sedangkan yang benar-benar memahami jiwa itu sendiri adalah Sang Pencipta itu sendiri. Suka atau tidak suka, atau benci, kita harus kembali meniti jalan Allah ta’ala.
“Dan meraka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’”
(al-Israa’ [17]: 85)
Wallahu a’lam bish-shawwab.

Minggu, 14 Juni 2009

stress

Memahami Kebutuhan

KETIKA berbicara tentang stres, biasanya seseorang mengarah kekepalanya, seolah rasa tertekan itu bersarang di kapalanya. Padahal tidak, stres itu adalah tekanan yang menimpa jiwa, merasakan hati, melemahkan mental, bahkan mengundang gangguan penyakit fisik. Jadi, sekujur tubuh seorang penderita stres, lahir dan batin, semua meresakan tekan. Adapun yang paling tertekan adalah titik inti perasaan manusia itu sendiri, yaitu hati (qalbu).
Ada sebuah hadist nabawiyyah yang bisa membantu memahami persoalan ini. Rasulullah saw. Bersabda,
“ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, namun jika ia buruk maka burulah seluruh tubuh. Ketauilah bahwa ia adalah qalbu (hati).” (HR.Bukhari-Muslim).
Di hadist lain, Rasulullah menggambarkan hubungan antara satu bagian tubuh dan bagain-bagain lain. Beliau bersabda,
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam rasa saling cinta, saling mengasihi, saling menyayangi, antarsesama mereka seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh mengadu kesakitan maka menjalarlah rasa sakit itu keseluruh bagian tubuh sehingga semua terjaga (tidak bisa tidur) dan merasa panas. “(HR.Bukhari-Muslim).
Kedua hadist di atas berisi perumpamaan; satu berbicara tentang pengaruh kondisi hati bagi hidup seseorang, satu lagi berbicara tentang suasana persaudaraan antarsesama mukmin. Namun keduanya sama dalam menggambarkan pengaruh sebuah persoalaan yang menyebar hingga ke seluruh bagian.
Tekanan stres pun seperti itu. Bermula dari perasaan yang sangat tertekan, lalu keseluruhan hidup menjadi terasa sempit dan terganggu. Andai perasaan itu tenang, hati itu tentram, jiwa itu damai, maka keseluruhan bagian tubuh, dalam atau luar, akan ikut merasa tenang pula. Artinya, perhatian kita harus diarahkan kepada perbaikan kondisi jiwa (hati), sebab ia menjadi pusat kehidupan manusia.
A. Konsumsi Jiwa
Dari mana kita mulai upaya membangun solusi stres ini?
Dengan tegas saya katankan bahwa awal dari upaya ini adalah keharusan untuk memahami karakter jiwa manusia. Di sini saya tidak akan mengajak pembaca menelusuri teori-teori kejiwaan yang rumit-rumit, sebab hal itu tidak banyak berguna. Setahu saya, ajaran Islam telah membahas persoalan jiwa secara memadai, mudah di pahami, dan bersifat aplikatif. Namun, sering datangnya para “pakar jiwa” yang sangat terpesona oleh pikiran-pikiran Yunani dan kebatinan itu, persoalan ini menjadi sangat rumit. Jiwa manusia serupa dengan jasadnya dalam hal membutuhkan sesuatu. Jika jasad membutuhkan konsumsi berupa makanan, air, oksigen, olahraga, istirahat, dan lain-lain, maka jiwa pun membutuhkan konsumsi pula. Hanya saja, konsumsi jiwa berbeda dengan konsumsi tubuh, sebab zat jiwa berbeda dengan zat tubuh.
Jika manusia tidak makan-minum selama berhari-hari atau tidak menghirup oksigen lebih dari lima menit, dia bisa mati. Ini sudah sunnatullah (hukum kejadian yang berlaku dalam kehidupan dan alam). Demikian pula dengan jiwa kita, jika ia tidak di beri konsumsi maka jiwa itu akan rusak, sakit, atau menderita. Stres terjadi karena kita terlalu berpikiran tentang konsumsi tubuh, lalu mengabaikan konsumsi jiwa.
Padahal, keduanya harus diperhatikan dengan penuh kesungguhan. Minimal, sehat jiwa itu lebih utama daripada sehat fisik saja.
Dimana-mana mudah di jumpai tubuh yang sehat, tegak, tampan dan cantik. Namun dibalik keindahan tubuh itu kerap tersembunyi jiwa yang sakit, “lumpuh”, di selimuti “nanah”, dan, “luka-luka” membusuk. Andai sakit jiwa manusia bisa di lihat dengan mata telanjang, tentu kita akan ketakutan melihat jiwa-jiwa kita sendiri, seperti orang ketakutan melihat penderita kusta (lepra).
Mungkin timbul pertanyaan. Jika jiwa butuh makan, lula makan jiwa itu apa? Dimana bisa di dapat? Berapa harganya? Dan, bagaimana cara memakannya? Tentu saja, makanan bagi jiwa berbeda dengan makanan bagi tubuh, sebab sifat kedua zat itu berbeda. Makanan utama jiwa manusia adalah keimanan dan zikir.
Jiwa itu seperti tempayan, wadah air, jika tempayan tidak berisi air, ia akan ringan, mudah bergerak-gerak, lalu jatuh berantakan paling tidak, tempayan itu menjadi wadah tidak berguna, berdebu, menjadi sarang laba-laba. Begitu pula, jika tempayan tersebut berisi air kotor, limbah hitam-legam, berminyak, menebar bau busuk, maka semua orang yang akan menjauhinya.
Jiwa kita jika tidak berisi iman ia seperti barang yang tidak berguna, kosong, rapuh, bahkan menjadi sarang sifat-sifat tercela. Akan tetapi, jika dia berisi keyakinan-keyakinan yang salah, ia seperti tempayan kotor yang membuat muntah setiap orang yang melihatnya. Jiwa itu harus berisi, sedang isinya adalah air yang jernih, bening, berisi, segar. Air itu adalah iman (tauhid) kepada Allah swt..
B. Proses Keimanan
Kimanan adalah anugerah agung yang di karuniakan Allah kepada manusia. Dengan keimanan, manusia menemukan jalan terang di tengah kegelapan hidup. Di sana manusia menemukan jati diri hidupnya. Manusia tidak akan pernah menemukan makna hakiki kehidupannya, selain hanya dengan menyandang iman di dada.
Karakter iman ini sangat spesifik. Ia bersemayam dalam dada manusia atas kehendak Allah ta’ala. Keimanan merupakan hak prerogatif Allah untuk memberikannya kepada siapapun yang dia kehendaki dari hamba-hamba-nya. Bahkan, para nabi dan Rasul pun tidak bisa menjadikan orang yang mereka kasihi beriman.
“sesungguhnya engkau (Muhammad saw.) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada siapa yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Qashash [28]:56)
Keimanan sendiri ketika sudah berada dalam dada, ia tidak bersifat tetap, tetapi dinamis (bertambah atau berkurang) . keimanan semakin tebal dan amal-amal saleh yang dilakukan, sedang ia semakin tipis dengan amal-amal buruk yang dilakukan. Ketika seseorang sudah beriman tidak otomatis iman itu akan terus bersamanya. Jika dia tidak memelihara diri dengan kebaikan-kebaikan, serta menjauhkan dari keburukan-keburukan, imannya bisa semakin terkikis.
Nabi saw. Bersabda,
“Iman itu ada 70 atau 60 cabang. Cabang yang paling utama adalah perkataan laa ilaaha illallah dan cabang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu itu merupakan salah satu cabang dari iman.” (Hr Bukhari-Muslim)
Proses untuk meraih keimanan merupakan sebuah rangkaian perjuangan yang terdiri dari beberapa upaya, yaitu sebagai berikut.
1. Mempelajari ilmu wahyu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah (hadist-hadist Nabi saw. yang sahih). Wahyu merupakan sumber kebenaran hakiki, besifat mutlak, mengikat semua orang yang mengimaninya.
2. Membenarkan keteranagan-keterangan ilmu, tanpa banyak bertanya mengapa dan bagaimana. Tidak menjadikan alasan logis, pendapat pakar, atau penelitian modern sebagai syarat untuk beriman. Nabi dan para sahabatnya tidak pernah menjadikan semua itu sebagai standar untuk mengimani Al-Qur ‘an. Mereka mendengar dan menaati.
3. Mengamalkan nilai-nilai ilmu, baik melalui keyakinan di hati, perkataan lisan, maupun melalui perbuatan. Ilmu tidak hanya di yakini tapi juga harus di amalkan. Sebaiknya, ilmu tidak cukup hanya di amalkan, tapi juga harus di yakini di hati. Antara keyakinan dan amal, keduanya saling beriringan.
4. Bersabar dalam mencari ilmu, mengimaninya, serta mengamalkannya. Keimanan akan berhadapan dengan banyak ujian maka cara menyikapi ujian-ujian itu adalah dengan bersabar.
5. Senantiasa bersemangat untuk memperbaiki diri dengan cara menambah ilmu, keimanan, dan amal, sampai saat datangnya ajal.
Inilah pola hidup orang-orang beriman. Sepanjang hayat, mereka terus berjalan mendaki jalan keimanan. Di sepanjang jalan itu terdapat ujian-ujian. Selesai satu ujian, segera di susul ujian-ujian berikutnya. Jalan demikian terus di lalui hingga seorang mukmin berjumpa dengan Allah swt.
“Dan sembahlah Rabbamu hingga datang kepadamu yang di yakini (ajal).” (al-Hijr [15]: 99)
C. keterbatasan Akal Manusia
Jalan keimanan sebernarnya sangatlah sederhana, tidak serumit gambaran-gambaran yang di lukiskan kaum sufi, ahli filsafat, atau penempuh jalan kebatinan. Kita hanya dituntut untuk mempelajari ilmu (wahyu), mengimaminya, lalu mengamalkannya sekuat tenaga. Jika kita tetap tegar menempuh jalan ini. Meskipun berbagai cobaan yang menghadang, perlahan-lahan iman itu akan tumbuh di dada. Allah sendiri yang bertanggung jawab menanamkannya di hati kita.
Sebagian orang melakukan semedi, yoga, senam pernapasan, relaksasi, membaca mantra-mantra, bahkan ada yang mengonsumsi obat-obat terlarang, agar jiwa mereka tentram dan damai. Namun, cara seperti itu tidak akan membawa banyak arti, bahkan sebagian merusak. Jiwa kita tidak akan tentram kecuali mendekati Sang Pencipta jiwa itu sendiri, yaitu Allah ta’ala!
“Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad saw.) tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Israa’ [17]: 85)
“hai manusia, sesungguhnya telah datng kepadamu pelajaran dari tuhan yang penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus [10]: 57)
Bagi kaum rasionalis (para pemuja akal), merela tidak puas dengan metode seperti ini. “kalau hanya mengimani Al-Qur‘an, lalu hati kita menjadi tenang, itu tidak menantang. Akal kita tidak bisa puas hanya dengan cara seperti itu. Kita butuh tantangan-tantangan yang akan memuaskan akal. Kita harus bisa menbuktikan kepada orang-orang nonmuslim bahwa Al-Qur‘an ini logis, ilmiah, dan scientific.” Kurang lebih seperti itu keyakinan mereka. Sungguh, keyakinan seperti itu tidak menunjukan bukti kepandaian, kualitas intelektual, kuatnya ide, atau teguhnya pendapat. Ia justru mencerminkan ketergesah-gesahan dalam berpendapat. Di sini ada beberapa catatan penting insya Allah menjawab pandangan seperti itu.
1. Fungsi akal manusia adalah sarana untuk memahami, bukan sebagai hakim, penentu, atau rujukan mutlak untuk memastikan sebuah kebenaran hakim atas seluruh kebenaran adalah wahyu Allah (Al-Qur ‘an dan sunnah). Mengapa? Sebab akal manusia bisa salah, lupa, atau melemah, tapi kitab Allah terpelihara (surah al-Hijr: 9) lagi pula, andai akal manusia bisa di jadikan rujukan tertinggi dalam kebenaran maka semua orang bisa menjadi sumber kebenaran sehingga tidak perlu lagi di utus nabi dan Rasul, tidak perlu ada kitab suci, tidak perlu ada agama dan sebagainya, sebab manusia sudah bisa memimpin dirinya sendiri.
2. Metode logika, ilmiah, atau scientific sifatnya sangat relatif, labil, kondisional. Ia tidak bisa dijadikan dasar untuk memastikan nilai kebenaran. Tidak setiap ada logis selalu benar. Tidak setiap bukti ilmiah akan tetap di pandang ilmiah setelah waktu berubah. Tentu scientific hanya bisa diterima selama belum bisa di temukan temuan-temuan baru. Bahkan, sudut pandang sains itu sendiri beragam. Apa yang disebut benar menurut seorang ahli fisika belum tentu benar menurut pakar biologi, psikologi, hukum, bahkan antarsesama pakar fisika. Contoh sederhana adalah teori relativitas Einstein. Teori ini diakui sebagai pilar kajian fisika modern. Namun, banyak fisikawan kontemporer yang menggebu ingin menjatuhkan teori tersebut. Jika Einstein masih hidup, dia pasti akan terus dihantui rasa cemas melihat tingkah para juniornya gemas dengan teori itu. Bedasarkan relativitas Einstein, konon manusia bisa berpindah kedimensi waktu lampau atau ke dimensi masa depan. Dalam film-film ide seperti ini di wujudkan dalam bentuk mesin waktu. Mungkin saja, secara matematis, teori seperti itu bisa diterima, tetapi ide perpindahan dimensi waktu sangatlah mengada-ada. Ia adalah ide yang hanya menarik minat para fisikawan, tetapi tidak realistis.
3. Tujuan hidup semua manusia adalah meraih bahagia, sedangkan wujud kebahagiaan tertinggi adalah ketentraman hati ( sakinatul qulub ). Orang-orang rasionalis telah ditunjuki jalan yang mudah untuk mencapai ketenangan hati, yaitu beriman kepada wahyu. Akan tetapi sayang, mereka lalu mengatakan, “Cara seperti ini tidak menantang” lalu, apa yang sebenarnya yang mereka cari? Apakah jika semua persoalan telah mereka pahami secara logis dan ilmiah, hal itu akan membuat mereka puas, sejuk hatinya, dan tentram jiwanya?. Dengan mengantungkan diri kepada metode logik, mereka justru mudah di guncang perselisihan pendapat. Suatu saat hati mereka tentram dengan mengikuti satu pendapat tertentu, namun ketika muncul pendapat baru yang berbeda, hati mereka di landa kecemasan hebat. Bahkan kadang ketika kecemasan itu sudah memuncak mereka kerap bertindak membabi buta. Saya pernah berdialog seorang pengagum ilmu fisika. Orang ini bukan akademis, tetapi pecandu buku-buku sains. Di usai tuanya, dia kait-kaitkan pemikiran sains yang dia pahami dengan akidah Islam. Akan tetapi, konsep berpikir orang itu seperti para “tukang hitung” yaitu berjualan rumus-rumus metematika di pinggir jalan untuk menebak nomor kupon judi yang keluar. Di sini tidak ada kerangka yang jelas, satu-satunya kerangka adalah: pokoknya menyambung!. Pada mula ia sangat berbangga dengan wawasan yang dia miliki. Dia bahkan sesumbar mampu menjatuhkan teori relativitas Einstein. (Saya bukan penggum Einstein.Hanya merasa lucu ketika ada orang-orang amatir yang berbangga diri telah menjatuhkan sesuatu yang oleh di pandang umum besar). Ketika sudah cukup lama berbicara, saya coba sedikit-sedikit mengajukan kritik, sikapnya mulai berubah. Dia mulai tegang, tidak tenang berbicara tinggi, napasnya kelihatan turun-naik. Sejak itu dialog menjadi kurang harmonis, ketika orang itu pergi berlalu, saya memandanginya dari kejauhan. Saya perhatikan kemeja batik yang dia kenakan. Wawasan intelektual seharusnya membuat seseorang berjalan tegak dan kokoh di mika bumi, tapi kebanyakan justru membuat para pemiliknya di landa kecemasan
4. Sebagian orang bersikap sombong di hadapan Al-Qur ‘an. Mereka menyamakan ayat-ayat Allah dengan pemikiran-pemikiran menusia. “Al-Qur ‘an ini hanya wacana saja. Boleh diambil, boleh tidak. Ia sama seperti buku-buku yang lain.” Kata mereka. Duhai Rabbi, nilai manusia-manusia itu dan seluruh stok menusia serupa di muka bumi, tidak melebihi nilai satu haruf Al-Qur ‘an. Ratusan atau ribuan filosof Yunani lebih pintar dari mereka. Namun, modal kepintaran Yunani tidak membuat mereka berhak mendapatkan anugrah wahyu dari langit. Akhirnya, mereka mencari-cari kebenaran hanya dengan modal otak dan rasa hingga akhirnya mereka jatuh dalam kesesatan dan gelap gulita.
Beriman kepada ilmu yang jelas-jelas datang dari Allah adalah sesuatu nikmat yang agung. Banyak orang ingin beriman, namun Allah tidak menunjuki hati mereka. Begitu pun tidak sedikit manusia yang tampak lemah ( di mata manusia ), namun Allah memberikan keimanan sekokoh batu karang.
Dalam buku Capita Selecta, buya muhammad Natsir mengutip ucapan Profesor Paul Ehrenfest, seorang fisikawan yang terpandang di Nutseminarium Amsterdam. Profesor Ehrenfest adalah seorang pencari kebenaran yang gagal menumukan apa yang dia cari, lalu dia mati dalam keadaan bunuh diri. Sebelum bunuh diri, dia membunuh anaknya sendiri.
Kepada seorang koleganya. Profesor Ehrenfest berkata,
“Yang tidak ada pada saya ia kepercayaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Akan tetapi barangsiapa yang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu” (M. Natsir, Capita Selecta [1973: 141]).
D. Sikap Rendah Hati
Keimanan (Tauhid) merupakan modal paling dasar untuk hidup tenang dan bebas dari tekanan stres. Stres terjadi karena jiwa tidak menemukan tempat hidupnya. Iman itu seperti udara (oksigen) bagi manusia atau ia serupa dengan air bagi ikan. Siapa pun yang tidak hidup di alamnya, ia akan menderita. Manusia akan mati tanpa udara, seperti halnya ikan akan mati karena kekeringan.
Dalam kenyataan, banyak orang memilih cara kebebasan nafsu untuk meraih kepuasan. Sebagian lain lebih meyakini kekuatan materi (uang). Ada pula yang menyukai metode kerumitan logika-logika. Bahkan, ada yang memuja temuan-temuan sains. Orang-orang sekuler meyakini dalam hatinya, “kami sanggup membanggu hidup tanpa bantuan Tuhan.”
Mengambil jalan selain jalan keimanan hanya akan berujung dalam kesempitan. Jiwa manusia sejak awal telah di ciptakan di atas ketetapan-ketetapan iman. Jika jiwa itu mengingkari keimanan, apa pun asalanya, dia akan menderita. Hal ini merupakan kepastian yang kita temukan dalam Al-Qur ‘an.
“… Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah [2]: 229)
“… Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allh maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri….” (ath-Thalaaq [65]: 1)
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya penghi-dupan yang sempit, dan kami akam menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” ( Thaahaa [20]: 124)
Seseorang yang menyelisihi jalan iman pada dasarnya hanya menyiksa diri sendiri. Orang-orang itu hidup di dunia tanpa bimbingan, tanpa perlindungan, tanpa kabar gembira, tanpa harapan pahala, tanpa ketenteraman jiwa, dan seterusnya. Mengapa? Mereka telah memustuskan hubungan dengan zat yang menjadi sumber bimbingan, perlindungan, kabar gembira, harapan, ketenteraman, dan segala kebaikan. Itulah Allha swt..
“Maka siapa yang mengingkari Thagut (segala sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegangan kepada simpul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-baqarah [2]:257).
Hal seperti ini adalah sesuatu yang nyata, sangat jelas, tidak tertutupi oleh penghalang dalam bentuk apa pun. Kenyataan ini sangat di rasakan oleh manusia-manusia yang tidak memiliki iman di hati-hati mereka. Meskipun mulut berkata yang lain, meskipun akal sangat ingkar, namun hati mereka tidak mampu berdusta atas penderitaan besar karena jauh dari Tuhan (baca: Allah Ta ‘ala).
Terkadang, peringatan Allah ditunjukkan di depan mata mereka dalam bentuk musibah-musibah yang mengguncangkan hati, misalnya berupa kematian, kebangkrutan secara tiba-tiba kegagalan menyakiti, peristiwa tragis aib-aib yang terbongkar luas, bencana alam, dan lain-lain. Setelah peringatan,itu sebagian mereka sadar diri, namun sebagian yang lain tetap dalam durhaka.
Kita sangat membtuhkan iman (tauhid) kepada Allah azza wa jalla. Ia bukan hanya menjadi penyelamat kehidupan, menjadi sebab kesejahteraan, dan menjadi syarat meraih surga, melainkan juga menjadi syarat ketentraman jiwa. Tanpa ketentraman jiwa, meskipun dia memiliki kekayaan materi melimpah ruah. Sungguh, tidak rugi sama sekali untuk beriman, sebab ia sangat di butuhkan oleh manusia melebihi kebutuhan-kebutuhan lain.
Di sini, setiap orang benar-benar berendah diri di hadapan Allah. Janganlah ada kesombongan, seolah Allah membutuhkan kita, seolah Allah memaksa kita beriman, seolah dunia ini akan sepi jika kita tidak menjadi hamba-Nya yang beriman kepadanya. Sungguh, Allah MahaKaya tidak membutuhkan apa pun dari siapa pun, dalam bentuk apa pun.
“Wahai manusia, kalian ini adalah orang-orang faqir (yang membutuhkan) kepada Allah. Dan Allah itu MahaKaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Faathir [35]: 15).
“Dan Musa berkata, ‘jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.’” (Ibrahim [14]: 8 )
Sungguh, kita membutuhkan Allah, bukan dia yang membutuhkan kita. Kita membutuhkan iman sebab hanya dengan iman itu kita bisa mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Tanpa keimanan dan karunia Allah, hidup kita tidak memiliki arti apa pun, baik sedikit maupun banyaknya.
Wallahu a’lam bish –shawwab.

Jumat, 12 Juni 2009

Stress

Pengertian Stres

Sebelum lebih jauh mengupas persoalan stres, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu dasar-dasar pengertian itu. Hai ini sangat berguna, selain agar pemahaman kita semakin lengkap, juga untuk menghindari kekeliruan-kekeliruan dalam penyebutan istilah. Paling tidak, dengan memahami istilah, kita tidak akan canggung lagi ketika menyebut istilah tersebut.
A. Asak kata
Kata Stres berasal dari kosakata bahasa Inggris. Menurut Kamus Oxford, stres memiliki paling tidaj enam pengertian, sesuai penggunaanya dibidang-bidang yang berbeda. Disana stres diterjemahkan sebagai; (1) tekanan atau kecemasan yang sisebabkan oleh masalah dalam kehidupan seseorang; (2) tekanan yang diberikan ke suatu benda yang bisa merusak benda itu atau menghilagkan bentuknya; (3) kepentingan khusus yang diarahkan kepada sesuatu; (4) suatu kekuatan ekstra yang dikerahkan ketika mengucapkan suatu kata khusus; (5) suatu kekuatan ekstra yang digunakan untuk membuat suara khusus dalam musik; (6) penyakit yang ditimbulkan oleh kondisi fisik yang terganggu(Oxford Advanced learner’s, hlm. 1286).
B.Spekulasi Makna
Stres sebagai istilah yang dikenal didunia psikologi dan kedokteran memiliki makna yang berbeda-beda, sesuai pandangan masing-masing pengamat.
Dalam sebuah buku disebutkan,”Stres telah lama menjadi subjek spekulasi bidang psikologi dan fisiologi. Sebenarnya, sering kata stres itu sendiri tidak jelas definisinya dan salah kaprah, yang bermakna berbeda bagi orang yang berbeda. Stres emosional, misalnya dapat muncul akibat pertengkaran rumah tangga atau kematina orang yang dicintai. Stres lingkungan, semacam terkena panas atau dingin yang berlebihan, merupakan fenomena yang berbeda sama sekali. Stres fisiologis digambarkan sebagai kelebihan hormon steroid yang berasal dari kelenjar adrenal.
Inilah teori yang dikembangkan oleh Dr. Hans Selye dari Montreal. Dia meyakini bahwa hormon-hormon itu sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme dan secara sensitif merupakan indikator stres. Apa pun nama samaranya, definisi stres yang kurang tegas telah menghalangi dilakukannya riset tentang stres pada masa lalu (Herbert Benson, 2000: 72-73).
C. Keragaman Definisi
Dari berbagai sumber yang saya peroleh, terdapat keragaman stres. Namun jika diperhatikan secara seksama, definisi-definisi itu memiliki kemiripan satu sama lain. Disini saya sebutkan beberapa definisi stres dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu sebagai berikut.
1. Pandangan Pakar Psikologi
Menurut beberapa pakar psikologi, stres didefinisikan sebagia: suatu kondisi fisik atau ketegangan mental yang menghasilkan perubahan dalam sistem saraf autonomik(Wolman, 1973); reaksi yang tidak khusus(nonspecific respons) dari tubuh terhadap berbagai tuntunan (Hans Selye, 1976); suatu keadaan yang dipengaruhi oleh gangguan mental atau emosional (Morst & Furst, 1979); reaksi tiba-tiba terhadap sekumpulan rangsangan yang berupa kejadian, objek, atau individu (Giardano & Everly,1986). Definisi-definisi ini disebutkan dalam salah satu materi dasar fisiologi, dengan topik “Tekanan(Stres)”, dipublikasi oleh situs unversitas Sabah Malaysia (UMS), dalam bahasa melayu.
2. Pandangan dari Praktisi
Hertbet Benson, penulis buku best seller, the Relaxation Response, menagtikan stres sebagai: kondisi linkungan yang memerlukan penyesuaian prilaku (Herbert Benson, 2000: 76). Dalam sebuah buku berjudul Stres Management techniques, stres diartikan sebagai: setiap sesuatu yang mempengaruhi dan meningkatkan derajat kecemasanmu (www.mindtools.com).
3. Penjelasan dari kalangan Industri
Dalam sebuah produk promosi sebuah obat anti stres, terdapat penjelasan sebagai berikut, “stres pada dasarnya adalah reaksi jiwa dan raga terhadap perubahan. Stres akan muncul jika terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan yang dimiliki seseorang dan berbagai tutunan yang ada. Setiap orang beraksi secara berbeda terhadap suatu perubahan dan mempunyai cara yang berbeda pula dalam mengatasinya” (www.nostresa.co.id).
Beberapa pendapat diatas saya kira cukup mewakili pengertian stres seperti yang diharapkan. Masing-masing pandangan mewakili tiga komunitas yang berbeda. Satu pihak mewakili pandangan dunia akademis, pihak lain mewakili pandangan para praktisi (penulis buku praktis), dan pihak terakhir mewakili kalangan industri farmsi yang memproduksi obat anti stres.
D. Menyimpulkan Makna
dari berbagai pandangan yang telah disampaikan dimuka, ada beberapa poin penting yang bisa disimpulkan, yaitu sebagai berikut.
1. stres dipicu oleh keadaan-keadaan yang menekan, baik dari unsur luar (misalnya kematian, konflik, cuaca) maupun dari dalam diri (misalnya derita penyakit).
2. Stres menimbulkan pengaruh ke dalam diri seseorang, baik berupa pengaruh fisik maupun kejiwaan, yang menggang kenyamanan hidupnya.
3. Stres berbeda dengan penayakit fisik pada umumnya, sebab itu melibatkan unsur-unsur penekan dan reaksi diri terhadap tekanan-tekanan itu.
Sampai disini kita temukan pengertian-pengertian yang masih samar. Apa hakikat stres itu? Apakah itu merupkan penyakit yang datang dari luar? Atau, ia merupakan penyakit yang datang dari dalam?
Jika stres merupakan penyakit dari luar, kita akan kesulitan menentukan sebaa-sebab penyakit tersebut. Penyebab stres banyak dan tidak setiap orang yang menemui sebab-sebab itu, lalu mengalami stres, jika stres disebut penyakit dari dalam, maka ia tidak muncul begitu saja, tanpa sebab, tanpa asal. Sampai disini, kita kesulitan menempatkan stres dalam posisi yang jelas.
Pada intinya, stres adalah reaksi seseorang terhadap setiap rangsangan yang mencemaskan dirinya. Reaksi itu bisa berupa penurunan kualitas fisik (fisiologi) atau penurunan kenyamanan perasaan (psikologis)
E. Tanda-Tanda Stres
dalam praktik, para penderita stres memperlihatkan perubahan-perubahan yang nyata, baik dari sisi emosi, pikiran, maupun fisik, bentuk-bentuk perubahan itu antara lain: perasaan tertekan, sulit berskap santai, selalu subjektif dalam menilai suatu masalah, ketakutan dan kecemasan terus-menerus, mengerjakan pekerjaan secara tergesa-gesa, kurang percaya diri terhadap lingkungan, takut mengahadapi kesulitan, ingin lari dari masalah, merasa selalu dalam konflik, frustasi dan depresi, susah tidur, mual dan merasa sakit lambung, nyeri didada, pusing-pusing, napas tersengal-sengal, kontipasi atau diare, sakit punggung, otot menegang, lemah atau lesu, mulut dan tenggorokan kering, serta berkeringat.
Secara sosial pun, perubahan itu tampak seseorang merasa kurang betah sendirian, atau sebaliknya, dia ingin selalu menyendiri. Dia kehilangan minat terhadap kesibukan-kesibukan. Dia menolak ajakan orang lain dengan alasan sibuk atau sedang banyak masalah. Prilakunya berubah-ubah, sulit untuk ditebak. Perubahan kebiasaan sering terjadi secara mencolok. Semula dirinya melakukan sesuatu, lalu tiba-tiba berubah melakukan tindakan lain(www.nostresa.co.id).
Jika mencermati gejala-gejala diatas bisa jadi kita termasuk diantara orang-orang yang menderita stres. Ibarat sebuah jaring ia dibuat dengan lubang-lubang yang sangat halus sehingga menyulitkan ikan-ikan untuk lolos, termasuk ikan-ikan kecil. Dengan perincian gejala-gejala yang luas seperti itu, sulit bagi kita untuk selamat dari jeratan stres. Jika sewaktu-waktu kita merasa mual, pusing, diare, sakit punggung atau dada, tidak ada salahnya kita mulai mencurigai diri sendiri, boleh jadi saat itu kita sedang mendeita stres.
Apa pun kenyataanya, kita harus bersikap bijak. Kita jangan mendramatisasi masalah, seolah jika seorang menderita stres, saat itu juga riwayatnya tamat. Namun disisi lain, jangan pula kita meremehkan, seolah stres disamakan dengan gigitan nyamuk yang bisa sembuh dengan olesan balsam.
Stres baru menjadi masalah serius jika ia memicu munculnya berbgai kerusakan hidup, lahir-batin, dunia-akhirat. Misalnya, karena stres seseorang jatuh sakit, tubuhnya melemah, daya ingatnya merosot, mogok bekerja, meninggalkan tanggung jawab, dan lain-lain.
Begitu pula ketika stres kemudian mendorong seseorang berputus asa, melakukan perbuatan dosa, menempuh jalan penyimpangan, berbuat jahat, sadisme, kezaliman, dan sebagainya.
Semoga Allah memelihara kita dari segala keburukan hidup, menyelamatkan kita dari fitnah-fitnah yang menggelincirkan, serta menjauhkan kita dari musibah-musibah yang menggungcangkan hati. Allahumma amin
F.Peranan Islam
Dunia modern ditandai dengan capaian-capaian luar biasa di bidang teknologi, komunikasi, dan informasi. Dengan kemudahan itu manusia tidak lagi kesulitan untuk memperoleh ilmu dan wawasan. Seharusnya, dengan serana-sarana kemudahan yang ada, manusia modern bisa hidup lebih tentram, damai, dan sejahtera. Betapa tidak, setiap pengetahuan yang dibutuhkan untuk meraih impian itu mudah diperoleh. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ilmu pengetahuan semakin melimpah ruah, namun problem stres justru lebih melimpah dari itu.
Menurut data yang dikeluarkan oleh American Academy of Family Physicians, dua pertiga (66%,pen.) dari semua kunjungan dokter-dokter keluarga di Amerika, adalah untuk mengatasi stres (Don R. Powell, 2000: 255). Mengutip pernyataan dua orang pakar dari college of Medicine, Unversitas Illinois Amerika, yaitu A.M. Osfeld dan R.B.Shekelle bahwa: “Telah terjadi peningkatan cukup besar dalam ketidaknyamanan hubungan manusia karena manusia telah berpindah dari kehidupan yang relatif primitif dan lebih desa dari kehidupan kota dan industri” (Herbert Benson, 2000: 81).
Kemajuan dunia modern lebih terfokus pada kemajuan-kemajuan di bidang materi, sedang sektor sporitual manusia terabaikan. Realitas ini sangat terlihat dengan semakin banyaknya manusia-manusia yang bertubuh gemuk, melebihi kewajaran. Pada saat yang sama, orang-orang subur itu membawa potensi penyakit yang sangat banyak, mulai dari jantung, darah tinggi, diabetes, stroke, asam urat, dan lain-lain. Mustahil manusia akar mengejar kegemukan tubuh, jika sejak semula hatinya berada dalam ketentraman.
Dalam keadaan demikian, Islam merupakan konsep hidup (way of life) yang sangat ditunggu-tunggu peranannya dalam mengentaskan manusia dari keterpurukan spiritual akibat tekanan stres menuju kehidupan sejati. Islam bukan saja memiliki kekayaan ilmu pengetahuan yang melimpah, namun ia sudah membuktikan peran konstruktifnya dalam memberi rasa damai dan bahagia bagi umat manusia sejak lebih dari 1400 tahun silam.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki akan diberi-Nya hidayah, maka dia akan melapangkan dadanya kearah Islam. Dan barangsiapa yang Dia kehendaki akan disesatkan, Dia jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah dia sedang mendaki ke langit. Demikianlah Allah jadikan siksa terhadap orang-orang yang tidak beriman.”
(al-An’aam[6]: 125)
Teringat sebuah ungkapan agung dari seorang sahabat radhiallahu ‘anhu, “Islam itu tinggi dan tidak ada lebih tinggi darinya.”
Wallahu a’lam bish-shawwab.

Kamis, 11 Juni 2009

stress

STRES adalah kata yang sangat popular di era modern. Zaman modern, jika tanpa stress, seperti sayur tanpa garam, keduanya berhubungan begitu lengket. Stres mudah ditemui di alam modern dan gaya hidup modern sangat potensial menimbulkan stres. Stres menjadi popular di negeri kita, terutama setelah bangsa ini terperosok krisis multi dimensi. Paling tidak,banyak orang menyebut istilah stres, meskipun mereka belum mengerti apa maksudnya. Fenomena stres sebernanya berakar dari gaya hidup yang dipilih oleh masyarakat sendiri. Gaya hidup yang hanya mementingkan materi dan hanya mengabaikan aspek rohani, memunculkan berbagai gejala ketidakseimbangan.
A. Budaya Industri Barat
Gelombang stres umumnya menimpa Negara-negara indistri maju, di Eropa, Amerika, Pasifik, atau asia. Kehidupan industri tidak uabhnya seperti pabrik, posisi manusia diserupakan denagan mesin. Hari-hari yang mereka lalui adalah produksi, produksi dan produksi. Falsafah hidup yang mereka enut adalah prinsip ekonomi,”Dengan modal sekecil-kecilnya d i p e r o l e h k e u n t u n g a n y a n g s e b e s a r – b e s a r n y a. “ kebutuhan jiwa manusia diabaikan sedang kebutuhan fisiknya sangat dimanjakan.
Dengan sinis, Muhamad Asad (Leopold Weiss), seorang cendekiawan muslim kelahiran Autria menulis tentang situasi budaya industri di Eropa pada awal-awal abad 20.
Rata-rata orang Eropa ( baik seorang demokrat maupun komunis, buruh harian maupun cendekiawan ) hanya mengetahui satu kepercayaan positif bahwa tidak ada tujuan lain dalam hidup ini selain membuat hidup it uterus-menerus semakin mudah. Rumah ibadah agama ( kepercayaan,pen.) ini adalah: pabrik-pabrik raksasa, bioskop-bioskop, laboratrium-laboratorium kimia, ruang dansa, dan bangunan hidro-elektrik. Sedang para pendetanya terdiri dari bankir, insinyur, politikus, bintang film, ahli statistik, pemimpin-pemimpin industri, penerbangan, dan komisaris-komisaris” ( Muhamad Asad,1985:91).
Propesor Joad, Dekan fakultas Filsafat dan Ilmu Jiwa Universitas London. Dalam buku Guide To Modern Wickedness, mengatakan,”Teori kehidupan yang berlaku dan menguasai dunia kita dewasa ini adalah memandang semua persoalan dan semua urusan dari sudut perut dan kantong.” Sementara itu, John Gunther dalam Inside Europe,mengatakan, “Orang-orang inggris menyembah Bank of England enam hari seminggu, dan pada hari ketujuhnya mereka pergi ke gereja”(Abdul Hasan an-Nadwi,1988:233).
Pemuja terhadap materi dan mengabaikan kebutuhan rohani adalah fenomena yang sangat jelas terlihat di depan mata. Ia sejelas bola matahari di siang hari, ketika tidak ada awan yang menutupi langit.
Anehnya, bangsa kita ikut-ikutan latah meniru gaya hidup Barat itu. Selama puluhan tahun kita memaksakan diri menjadi bangsa industri maju. Pabril-pabrik didirikan tanpa kendali, supermarket, dan mal-mal bermunculan di sudut kota, fasilitas komunokasi, informasi, dan transportasi modern diadopsi bulat-bulat, gedung-gedung pencakar langit berdiri menjulang,jalan-jalan layang meliuk-liuk membelah kota, perumahan modern (real estate) bermunculan bak jamur tumbuh di musim hujan, dan tentu saja tidak ketinggalan, pusat-pusat hiburan dan permainan. Di setiap kota pasti ada tempat-tempat tertentu yang di kenal luas sebagai pusat games, fantasi, hura-hura, dan arena gelimang dosa. Apa pun yang didirikan di Barat, di sini kita berusaha mendirikan yang sama, meskipu dengan bersusah-payah.
Selama ini kita mengagumi kehidupan masyarakat Barat dengan kekaguman Buta. Kita hanya melihat bangsa Barat dari sisi materi, kebebasan hawa nafsu, keterbukaan sikap, dan aneka gaya hidup menggiurkan. Padahal jika mau menyelami kehiduoan mereka lebih dalam, orang-orang Barat sungguh menderita. Mereka tidak merasakan ketentraman batin. Mereka hidup dalam persaingan tinggi. Sulit di temukan keramahan dan sopan-santun. Setiap orang lebih memikirkan dirinya sendiri, tidak bisa berharap kemurahan hati dari orang lain; berbagai bentuk kakus penyimpangan sosial merajalela, kriminalitas, kekerasan, seks bebas, pelacuran, penyalagunaan Narkoba, AIDS, bunuh diri, dan lain-lain.
Dalam kehidupan liberal di Barat, uang menjadi panglima. Uang di buru oleh sebagian besar masyarakat Barat dengan menggunakan segala macam cara. Hail ini sangat tecermin dari sebuah ungkapan yang popular di kalangan mereka, time is money ‘waktu adalah uang’.
Pilihan hiduo seperti itu sudah tentu berakibat fatal. Dengan meniru gaya hidup Barat (western life style), kita kehilangan begitu banyak nilai-nilai kemulian, misalnya rasa santun, kepedulian, kebersamaan, sikap sederhana, mandiri, percaya diri, kesabaran, dan lian-lain. Semua nilai-nilai luhur itu akhirnya menjauh dari sekitar kita,, lalu berganti persaingan, ambisi, jegal-menjegal, konflik, manipulasi, kezaliman, dan seterusnya. Kerasnya dunia industri memaksa kita menjual kehidupan yang luhur dengan kehidupan jalanan. Dalam situasi seperti ini, sangat mudah di baca bahwa stres adalah akibat paling wajar yang akan kita terima.
Dunia industri tidak pernah mengizinkan kita membangun kehidupan dengan tenang, ramah, penuh kasih sayang, kita justru didorong untuk terus-menerus bersaing, tanpa tahu kapan persaingan itu akan berakhir.
B. dampak tekanan sosial
Derita stres menimpa semua kalangan, orang kaya atau kaum fakir, kalangan elite atau rakyat jelata, orang laki-laki atau perempuan, masyarakat di kota metropolitan atau di pelosok desa. Semua pihak merasakan beratnay tekanan stres, tanpa membedakan faktor status dan kelas.
Orang-orang kaya (the have) merasa stres denag iklim persaingan yang semakin ketat. Sebenarnya, mereka ingin istirahat atau menikmati kekayaan, namun hal itu tidak bisa dilakukan. Sepanjang waktu mereka terus berpikir tentang pekerjaan kantor, peluang bisnis, situasi persaingan, rencana ekspansi usaha, kebutuhan rumah tangga, kenyamanan fasilitas, masalah anak-anak, gengsi sosial, bahkan soal keamanan. Andai kita tahu, duh betapa berat beban pikiran mereka.
Jika orang-orang kaya terbebani, bagaimana nasib orang-orang lemah? Bagaimana nasib kaum fakir? Bagaimana nasib orang-orang yang miskin ilmu dan miskin harta? Apakah mereka bisa hidup lebih nyaman, atau sebaliknya?
Kehidupan orang-orang lemah ( dhuafa ) itu tadaklah lebih ringan. Mereka terombang-ambing di tengah kerasnya persaingan. Mereka menjadi sasaran keganasan oramg-orang perkasa dan untuk itu mereka hanya bisa pasrah nasib. Kalimat populer yang kerap mereka ucapkan adalah,”Ah kami ini orang kecil. Kami tadak bisa apa-apa. Semua terserah pada Bapak-bapak yang di atas.”
Orang-orang kaya harus membayar mahal pilihan hidup mereka unutk terus memburu uang, tanpa kenal berhenti. Namun, orang-orang lemah juga harus membayar mahal atas ketidakberdayaan mereka. Dalam banyak kasus, kaum fakir itu harus menaggu tekanan dari dua sisi. Mereka memperoleh ketenangan jiwa karena cenderung mengabaikan ibadah, namun pada saat yang sama mereka harus memeras tenaga untuk bertahan hidup.
Di sini ada kenyataan yang cukup unik. Orang-orang fakir telah bekerja keras membanting tulang, namunhasil yang mereka peroleh tidak seberapa dibandingkan hasil kerja orang-orang kaya. Kekayaan yang mereka kumpulkan dalam satu tahun belum tentu lebih tinggi dari belanja orang-orang kaya dalam satu hari. Atau, hasil yang mereka peroleh setelah bekerja keras seharian tidak selalu lebih tinggi dibanding nilai sampah yang dibuang orang-orang kaya pada hari yang sama.
Perbedaan yang sangat mencolok ini kerap membuat orang-orang fakir itu sesak napas. Banyak orang stres hanya gara-gara tidak sanggup melihat gemerlap kekayaan milik orang-orang makmur. Sebagian kuli kasar yang bekerja memperbaiki jalan raya, mereka sering tahan napas kalau melihat sedan-sedan mulus, high class, melintas di dekat lokasi kerja mereka.
Kehidupan indistri yang keras dam kejam memicu stres, di kalangan oramg-orang mapan atau rakyat jelata. Mereka semua meringis, merasakan beratnya tekanan. Mereka ingin bebas dari semua belenggu yang mencengkeram jiwa, namun tidak tahu harus berbuat apa.
C. Mencari Pelarian
Sebagian orang yang tidak kuat menahan stres memilih melakukan bunuh diri. Masih sangat dalam ingatan kita, peristiwa tragis yang menimpa seorang eksekutif muda keturunan India, Manimaren Marimutu . salah seorang pimpinan Grup Texmaco ini melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari Hotel Aston Jakarta, lantai 56, tubuh laki-laki itu tiba di atas tanah dalam keadaan hancur. Dia melakukan bunuh diri sebab tidak kuat lagi menahan tekanan stres.
Sehari sebelum itu, tanggal 4 Agustus 2003,di, Korea Selatan, seorang Presiden Direktur Hyundai Asan Corporation, Chung Mong-hun, ditemukan bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 12 kantornya. Mayat Chung ditemukan di pelantaran parkir oleh salah seorang pegawainya. Masih di tahun yang sama, tepatnya 1 April 2003, seorang selebritis ternama Hong Kong, Leslie Cheung, juga di temukan tewas bunuh diri. Leslie Cheung setelah melompat dari sebuah kamar dari lantai 24, sebuah hotel mewah Mandarin Oriental Hotel di Hong Kong. Caranya sama, tujuannya pun sama, yaitu bunuh diri. Hanya yang melakukannya orang-orang ternama.
Bunuh diri adalah cara terburuk yang ditempuh sebagian orang untuk melepaskan diri dari tekanan stres. Selain bunuh diri ada juga yang mencari”solusi” dengan cara mengkomsumsi obat-obat terlarang, misalnya putaw, heroin, shabu-shabu, obat bius, ekstasi, atau minimal mengisap ganja. Obat-obat perangsang saraf itu dikonsumsi secara liar unutk menimbulkan efek sensasi sehingga seseorang bebas dari beban, tubuh terasa ringan, tumbuh rasa percaya diri, melayang-layang dalam fantasi, merasa cool, dan sebagainya.
Sensasi itu bertahan selama pengaruh obat masih ada, namun setelah penagruh obat itu hilang, mereka merasakan sakit luar biasa. Saat itu mereka membutuhkan obat-obat baru untuk melepaskan diri dari rasa sakit tersebut. Setiap habis satu paket obat, mereka akan membutuhkan paket-paket berikutnya. Demikianlah, orang-orang itu tidak bisa keluar dari lingakaran pengaruh obat. Mereka seolah-olah dipenjara dalam sebuah bola besar terbuat dari baja setebal 10 cm dengan tanpa ada celah sama sekali, walau hanya seujung jarum. Sejujurnya, mereka ingin keluar dari “bola baja” itu, namun tidak mampu.
Di media-media massa, hamper setiap hari kita simak berita tentang penyalagunaan narkoba. Seorang pengacara terkenal sengaja membuat sebuah gerakan sosial anti peredaran narkoba, setelah anaknya sendiri menjadi korban peredaran obat-obat terlarang. Tokoh itu mengatakan bahwa para pemakai narkoba seperti para pemegang one way ticket ‘tiket satu arah‘. Maksudnya, dengan memekai narkoba, mereka berjalan pergi dan tidak pernah bisa pulang kembali.
Seorang penyanyi pop terkenal, anak laki-laki yang dia cintai meninggal akibat over dosis mengonsumsi narkoba. Sejak kematian anaknya, dia mencoba lebih dekat kepada Tuhan dan lebih mawas diri. Sementara itu, anak seorang pejabat tinggi dikota besar dipergoki aparat keamanan sedang berpesta obat-obatan. Hal ini tentu saja mencoreng muka orang tua dan keluarganya.
Cara lain yang juga banyak dipakai untuk mengatasi stres, yaitu menerjuni petualangan seks. Banyak orang merasa stres karena studi, stres dirumah, stress akibat putus cinta, stres dikantor, ada masalah pribadi, masalah karier, konflik dengan istri, bisnis kacau, kalah judi, dan lain-lain.
Untuk menghilangkan tekanan-tekanan tersebut, mereka menerjuni petualangan seks liar. Tentu saja, cara seperti itu bukan menjadi solusi, justru semakin melipatgandakan tekanan stres sehingga kali lipat lebih berat.
Permainan seks liar memang memberi kenikmatan, namun sangat sedikit, paling lama hanya 30 menit. Akan tetapi, noda-noda kehinaan yang harus dipukul setelah itu belum tentu bisa hilang setelah 30 tahun.
Setelah seorang laki-laki dan perempuan mendapatkan kepuasan seks secara liar, seketika itu tumbuh rasa hina di hatinya. Dia merasa gelisah, merasa bersalah, merasa diri telah berbuat khianat, merasa penuh dosa, sulit bertobat, merasa rendah diri di depan orang-orang baik, merasa malu, takut tertular penyakit, takut aib-aibnya terbongkar, takut anak-anak istrinya melakukan yang sama, dan lain-lian. Jejak perbutan seks liar itu sungguh mudah dihapuskan, namun noda-noda itu ikut ke mana pun pemiliknya pergi, selalu menyertainya, meskipun dia telah bersembunyi di tengah-tengah benteng paling kokoh. Wajar saja jika Allah mengharamkan zina, sebab perbuatan itu sedikit sekali nikmatnya, namun sangat dahsyat resikonya.
“dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(al-Israa’[17]: 32)
Selain bunuh diri, narkoba, seks bebas (juga pornagrafi), berbagai cara buruk telah dilakukan unutk membebaskan diri dari tekanan stres, misalnya dengan mengamalkan ilmu hitam, menekuni ilmu kebatinan, melakukan sihir, dan mendatangi dukun-dukun. Denag perbuatan seperti itu mereka telah menjual masa depan di akhirat dengan setitik dunia yang tidak berharga. Selain itu, ada pula yang mengikuti majelis-majelis tasawuf, masuk klub-klub filsafat, berpetualang di arena pemikiran-pemikiran metafisik tak karuan bentuk.
Cara-cara lain yang sering kita saksikan melalui media-media massa, misalnya tindak criminal, kekerasan, tawuran, kebut-kebutan dijalan, membentuk gangster, tindak sadisme, bahkan memuja-memuja setan. Na’udzubillah wa na’udzubillah.
Saat sekarang ini banyak beredar kaos-kaos ( t – shirt ) bercorak gelap, yang terang-terangan membenci agama dan memuja-muja setan. Para pengagum ritual setan itu rata-rata menyukai simbol-simbol kekerasan seperti pedang, darah, jerit tangis, tengkorak, kematian, dan lain-lain. Semua itu mereka lakukan kerena merasa tidak mempunyai pilihan. Hidup secara normal mereka kalah bersaing, menjadi orang saleh merasa tidak mampu, ketika mau berkarya ditertawakan banyak orang. Akhirnya mereka memilih menjadi “pomberontak”. Mereka menyukai symbol-symbol setan yang justru sangat dibenci oleh orang pada umumnya. Hal tersebut mereka lakukan bukan karena setuju dengan ide-ide gelap itu, tapi mereka ingin diakui oleh orang lain. Pada intinya mereka stres, lalu mereka mencari solusi denagn cara yang salah.
Sebenarnya, banyak cara-cara salah yang dilakukan orang agar terbebas dari stres. Jika disebut satu persatu tentu sangat banyak. Di sini cukup disinggung beberapa contoh penting. Pendek kata, orang-orang itu ingin bebas dari stres, tapi mereka menempuh cara yang keliru sehingga mereka terlempar ke arah bentuk-bentuk stres yang lain. Bahkan, mereka terlempar ke bentuk stres yang lebih serius. Seperti kata pepatah “lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya”.
Demikianlah, pembahasan tentang fenomena stres. Stres timbul karena gaya hidup modern yang terlalu mementingkan materi, kurang memperhatikan segi kebutuhan rohani. Adapun solusi terbaik atas persoalan ini adalah dengan menjadi insan religius yang dekat kepada Allah, ikhlas mengabdi kepada-Nya, dan menghindari aneka rupa perbuatan dosa besar.
Berjuanglah sahabat, maka Allah akan melihat perjuanganmu. Janga berlemah hati, sebab kehidupan orang-orang beriman itu terhormat dan berada di atas derajat yang tinggi.
“janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (Ali Imran [03]; 139)

strees

Metode Zikir

SETELAH iman, maka makan yang sangat di butuhkan hati adalah zikir, zikir bukan makanan bergizi, suplemen, minuman berenergi, atau serbuk serat alami, ia bukan definisi-definisi serbarrumit yang biasa ditekuni oleh para ahli kalam, ahli teologi, ataupun sufi. Zikir adalha ilmu, amal, dan istiqamah. Maksudnya, BENTUK-bentuk zikir itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur ‘an dan sunnah, kita tinggal mengamalkannya secara istiqamah (kontinu).
Zikir adalah rahasia ketenangan jiwa. Ia adalah amalan-amalan yang menyejukan hati, melapangkan dada. Ia ibarat tali yang mengikatkan hati-hati orang beriman dengan Rabbanya.
“Orang-orang yang beriman hati-hati mereka merasa tentram karena berzikir mengingat Allah. Keteuilah dengan berzikir mingingat Allah, hati menjadi tentram.” (ar-Ra’d [13]: 28)
A. Pemahaman Umum
Zikir biasanya dipahami sebagai kalimat-kalimat Allah yang di baca secara berulang-ulang, misalnya kalimat Tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah), takbir(Allah Akbar), istigfar (astaghfirullah al-azhim), shalawat (Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad), dan lain-lain.
Bacaan-bacaan zikir memiliki pengaruh luar biasa,. Pengaruh paling sederhana, yaitu bunyi bacaan yang terdengar indah di telinga. Kemudian, pengulangan-pengulangan kalimat yang membekaskan ketenangan di hati serta pemahaman terhadap makna agung dari kalimait-kalimat itu.
Jangankan membayangkan situasi khusyu ketika seorang hamba sedang menghayati keagungan Rabbnya melalui bacaan-bacaan itu. Bagi orang-orang yang tidak memahami maknanya, mereka sudah gembira dengan hanya mengulang-ulang bacaan. Sebagai contoh, bacaan istigfar (astaghfirullaha al-‘azhim ‘aku memohon ampun kepada Allah Yang MahaAgung’). Tidak semua orang tahu bacaan itu, bahkan sebagian mereka membaca bacaan keliru (astaghfirullah). Namun, mereka mengahayati bahwa kalimat itu dibaca sebagai sarana untuk mengakui kesalahan-kesalahan diri, lalu memohon ampun atas kesalahan-kesalahan tersebut. Hai ini sudah merupakan manfaat luar biasa.
Dalam praktik, bacaan-bacaan zikir kadang diucapkan pelan secara sendiri-sendiri, namun ada pula yang di baca secara bersama-samam, dipimpin seseorang iman tertentu. Orang-orang menyebut ritual seperti itu majelis zikir. Di sana zikir di baca berjamaah, dilagukan, kadang di sertai gerakan-gerakan kepala ke kanan dan ke kiri . kadang, bacaan zikir itu semakin keras dan cepat, tak ubahnya seperti mobil semakin di pacu hingga mencapai puncaknya kecepatan. Bagi pengikut paham-paham sufi tertentu, mereka berzikir sambil menari-nari, memakai rok besar ala Turki, itu pun disertai bunyi-bunyi alat musik.
Tentu saja kita harus melihat cara-cara membaca zikir ini secara libih bijaksana. Kalimat-kalimat yang diucapkan adalah kalimat thayyibah ‘kata-kata yang baik’, sebab ia menyangkut pujian-pujian terhadap Allah, sifat-sifat keAgungan-Nya, serta nama-nama indah yand telah Dia pilih untuk diri-Nya sendiri. Dalam hal ini sudah sepantasnya kita berhati-hati, tidak menyamakan ucapan zikir dengan mantra-mantra sihir, atau kalimat-kalimat lain yang tidak suci.
Misalnya sekolompok laa ilaha illa Allah sambil bersuara keras mengelengkan kepala ke kanan dan ke kiri, matanya terpejam seperti orang yang tidak sadar diri. Apakah pantas kalimat-kalimat suci di baca seperti itu? Benarkah mereka ingin mencari ridha Allah? Mungkinkah mereka akan memahami makna zikir-zikir itu di hatinya? Inilah kekeluruan yang nyata, bacaan-bacaan yang suci di baca dengan cara yang tidak suci.
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al- A’ raaf [7]:55)

Kata-kata melampaui batas di atas, menurut tafsir versi Departemen Agama RI memiliki pengertian, “melampaui batas tentang yang di minta dan cara meminta.” Apa yang di minta berlebihan. Melebihi kepantasan sebagai manusia biasa sedang cara memintanya juga berlebihan. Ayat di atas tidak secara khusus berbicara tentang adab zikir, tapi kalimat “sesungguhnya dia tidak menukai orang-orang yang melampaui batas” menjadi pembatas mutlak bahawa kita tidak boleh melampaui batas dalam segala hal. Apalagi dalam berzikir.
B. Keragaman Bentuk Dzikir
Bentuk-bentuk zikir bermacam-macam, shalat, puasa, ibadah haji, merupakan zikir, membaca Al- Qur ‘an dan merenungi maknanya, juga zikir aktivitas apa pun yang benar, di mana di dalamnya seseorang mampu mengingat Allah, hal itu merupakan zikir. Zikir tidak terbatas pada ucapan-acapan kalimat thayyibah seperti di dalam pengertian di atas.
Merenungi ciptaan Allah yang bertebaran di daratan, lautan dan angkasa adalah zikir. Membaca doa-doa sunnah dalam kehidupan sehari-hari seperti makan, tidur, masuk kamar mandi, memakai pakaian, berkumpul dengan istri, dan lain-lain, itu juga zikir. Berdoa memohon karunia Allah dan berlimdung kepada-Nya dari bencana dan malapetaka dan zikir. Bahkan , selalu taat kepada Allah, di man pun dan kapan pun, ia juga berzikir (dalam arti luas).
“(Ulil Albaab) yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) . ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah engkau ciptakan ini dengan sia-sia. MahaSuci engkau. Maka periharalah kami dari siksa api nereka.’” (Ali Imram [3]: 191)
Berdiri, duduk, dan berbaring adalah tiga kondisi yang merangkum seluruh keadaan manusia, jika manusia tidak berdiri, dia pasti duduk atau berbaring. Jika ia tidak duduk, dia pasti akan berdiri atau berbaring. Jika ia tidak berbaring, dia pasti akan berdiri atau duduk. Tidak lagi situasi di luar tiga kondisi tersebut. Ini artinya, zikir meliputi seluruh aktivitas hidup manusia.
Dengan modal keiman dan zikir, maka jiwa manusia akan terisi penuh. Ia terisi air kesejukan nan jernih, dingin, dan manis rasanya . dalam keadaan demikian, kita tidak perlu khawatir dengan stres. Ilmu dam iman akan menjawab seluruh sebab kecemasan, sedang zikir akan menjadi pemuas hati-hati yang dahaga
C, Etika Berzikir
Dengan berzikir kita berharap akan memperoleh pahala besar, di mudahkan dalam urusan-urusan, dianugrahi kemenangan, di ampuni dosa-dosa, serta di limpahi ketenangan jiwa. Untuk merahi semua kebaikan itu sudah tentu kita harus memenuhi etika dalam berzikir. Dia bawah ini terdapat beberapa ketentuan penting ketika berzikir mengucap kalimat-kalimat thayyibah.
1. Ikhlas karena Allah. Banyak orang berzikir namun zikirnya tidak terangkat kelangit, hanya singgah di hati-hati manusia, sebab mereka berzikir dengan tidak ikhlas. Lidahnya berkata ikhlas, tapi hati-hati mereka mengingkari. Zikir seperti ini berbahaya bagi pelakunya, juga bagi orang-orang mengikutinya.
“Padahal mereka tidak di suruh keculai supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah [98]: 5)
2. Berzikir sesuai bentuk atau ucapan zikir yang di teladankan oleh Rasulullah saw. Setiap ucapan zikir yang kit ucapkan perlu diklarifikasi terlebih dahulu, apakah ia bersumber dari Rasulullah atau hanya karangan guru-guru kita? Jika ia hanya karangan guru-guru , sudah selayaknya ditinggalkan. Mengapa? Dengan berzikir sesuai contoh dari Rasulullah, selain berpahala, membawa ketenagan, juga selamat dari pernyimpangan. Dengan mengikuti cara-cara selain dari Rasulullah, tidak ada yang berani menjamin bahwa cara seperti itu akan membawa kebaikan, lagi pula, jika seseorang lebih mendahulukan guru-gurunya daripada Rasulullah, apakah guru-gurunya mereka lebih mulia dari Rasulullah? Jika demikian adanya. Mengapa bukan guru-guru itu yang diangkat oleh Allah sebagai Rasulullah dalam perkara zikir ini tampak sepele, padahal di balik itu terdapat kossekuensi-konsekuensi yang sangat serius. Orang-orang beriman sudah tentu akakn istiqamah berdir di belakang shaf nabi mereka yang mulia, shalallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Berendah diri dan dengan cara suara yang lembut. Allah memiliki sifat-sifat yang Agung, misalnya As-Sami’ ‘Maha Mendengar’, Al-‘Alim ‘Maha Mengetahui’, Al-Khabir ‘Mahatahu’, Al-Qarib ‘MahaDekat’, Al-Bashir ‘MahaMelihat’, dan lain-lain. Dengan sifat-sifat seperti ini pantaskah kita curiga bahwa Allah tidak mendengar zikir hamba-hamba-Nya? Jangankan yang di ucapkan di lisan, yang terbersit di hati pun Dia mengetahui.
“Katakanlah. ‘jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkanya, pasti Allah mengetahuinya…” (Ali Imran [3]: 29)
4. Berzikir dengan penuh kesungguhan. Dalam berzikir jangan bercanda atau bermalas-malasan. Jika bercanda khawatir Allah tidak ridha, lalu dia palingkan hati kearah kesesatan. Na’Udzubillah min dzalik. Begitu juga jangan bermalas-malasan, namun penuh kesungguhan. Jika lagi malas, capek, atau, suntuk, sebaiknya tidak berzikir lama-lama, sekucupnya saja. Lebih baik seperti itu daripada berzikir lama-lama, tetapi hati merasa berat.
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (al-Muzzammil [73]:8)
5. mengharap rahmat Allah. Ketika berzikir kita harus mempunyai harapan kepada Allah kita berharap akan mendapat kemudahan, akan diampini dosa-dosa kita berharap pahala kepada-Nya. Zikir tanpa harapan seperti amal-amal yang hampa.
“…dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’ raaf [7]: 56)
Dalam praktik, zikir banyak diamalkan oleh umat Islam dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Namun upaya-upaya zikir itu sering kali mengabaikan adab-adab yang semestinya di jaga dengan baik. Manusia-manusia mengucap kalimat-kalimat suci dengan cara-cara yand tidak suci. Hal itu sama saja dengan merendahkan martabat asama-asma Allah yang seharusnya di Agungkan.
D. Penawar Hati
Di zaman modern banyak orang merasa stres berbagai beban hidup yang harus di pikul. Namun, jika hati-hati mereka beriman kepada Allah, mengibadahi-Nya dengan penuh keikhlasn, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, serta mengangungkan cara-cara yang telah diteladankan oleh Sayyidil Mursalin Rasulullah saw., sungguh mereka tidak pantas tertekan oleh stres. Terlebih jika mereka mau mengisi hidupnya dengan amal-amal zikir yang penuh berkah, iman dan zikir adalah dua senjata utama yang akan mengempaskan stres dari dada-dada kita.
Jalan ini sebenarnya merupakan jalan yang mudah. Siapa pun akan mampu menapakinya dengan langkah-langkah yang tenang, tidak khawatir oleh tiupan angin, duri-duri atau batu-batu sandungan. Jika kita benar-benar ingin terbebas dari stres maka carilah ilmu, kemudian hiduplah dengan di bimbing oleh ilmu. Setelah itu, isilah hidup anda dengan amal-amal zikir, lakukanlah sekuat kemampuan. Zikir akan menghidupkan hati seperti air menghidupkan tanaman. Tanpa zikir hati akan kering, gersang, penuh kehampaa.
Rasulullah saw. Bersabda,
“perumpamaan orang yang berzikir mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat-Nya adalah seperti perbedaan antara orang hidup dan orang mati.” (HR Bukhari)
Saya selalu percaya bahwa untuk berubah dibutuhkan kesadaran, pemahaman, dan proses waktu,. Mungkin, untuk membiasakan diri dengan keimanan dan zikir, seseorang masih belum terbiasa atau merasa berat. Tadak mengapa, asal kita telah sepakat dengan perinsip dasar bahwa jiwa manusia membutuhkan konsumsi seperti halnya tubuh juga membutuhkan konsumsi. Adapun konsumsi jiwa adalah: iman dan zikir. Untuk memulai proses perubahan, sebaiknya kita berjalan perlahan, melangkah setapak demi setapak, sedikit-sedikit.
Memang, setiap orang rata-rata menginginkan kemajuan yang pesat. Ya…, siapa yang tidak suka dengan perubahan cepat? Akan tetapi, belajar dari pengalaman, perubahan yang tergesa-gesa, penuh paksaan, atau tidak mengerti ujung pangkalnya, ia kerap berakhir dengan keburukan.
Cobalah saudaraku berjalan perlahan, bertahan, namun tetap konsisten, jangan silau, oleh keadaan sekeliling. Syukuri apa yang Allah berikan kepadamu dan lihatlah kepada mereka yang kerang beruntung, jangan takut kepada siapa pun termasuk kepada orang-orang saleh. Kita tidak beridah kepada manusia, namun kepada Allah saja. Seorang ulama pun kita butuhkan adalah untuk memberi arah dan bimbingan, bukan menjadi tujuan dari ibadah itu sendiri. Berjalanlah, maka kelak engkau akan menemukan yang di cari. Insya Allah.
Wallahu a’lam bish-shawwab.

Jumat, 08 Mei 2009

stress

Mengapa Timbul Stres?




Sebuah pertanyaan besar: mengapa seseorang mengalami stres?
Pertanyaan ini perlu dijawab terlebih dahulu, sebelum kita memikirkan solusi-solusi kreatif untuk mengatasi stres. Banyak hal yang bisa menimbulkan stres, baik berupa perkara yang besar atau perkara yang sepele. Kematian pasangan hidup (suami atau istri) merupakan faktor pemicu stres yang telah dikenal secara luas. Di Amerika, ia menjadi pemicu stres peringkay tertinggi. Bagi sebagian orang, hal-hal sepele juga bisa menimbulkan stres, misalnya kebiasaan mengecap makanan sambil berbunyi, mendengkur ketika tidur, meludah disembarang tempat, dan lain-lain.
Pemahaman terhadap faktor-faktor penyebab terhadap stres sangatlah penting. Ibarat sebuah pohon, untuk mengetahui dimana ujungnya, maka kita harus melihat dari akarnya. Memahami akar setiap persoalan akan menuntun kita kearah solosi persoalan tersebut, insya Allah.
Sebab-sebab stres sebenarnya mudah dipahami. Seseorang tinggal bertanya kepada dirinya sendiri: mengapa saya merasa cemas? Maka berbagai kenyataan yang memicu kecemasan, menekan perasaan, mengeruhkan pikiran, dan menyempitkan dada, semua itu merupakan faktor penyebab stres.
Dari berbagai sumber, terdapat berbagai versi faktor penyabab stres, namun rata-rata mengarah kepada penjelasan yang sama. Di bawah ini saya paparkan delapan faktor penyebab stres menurut saya sendiri. Faktor-faktor itu belum mencakup keseluruhan faktor yang ada, namun insya Allah telah mewakili faktor-faktor terpenting di antaranya. Dalam hal ini saya mencoba bersikap mandiri, tidak mengutip dari sumber-sumber tertentu.
A. Musibah Berat
Musibah berat merupakan sebab stres yang paling mudah dipahami. Musibah berat terutama berupa kematian orang-orang yang dicintai. Kematian bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara mendadak. Kematian menndadak rata-rata menimbulkan stres berat. Apalagi jika peristiwa yang menimbulkan stres itu merupakan peristiwa tragis, misalnya bencana alam kecelakaan, aksi kriminal, serangan terorisme, dan lain-lain.
Belum lama ini, masyarakat indonesia harus berurai air mata dengan terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD), pada 26 Desember 2004. tidak terkirakan betapa hebatnya dampak dari bencana itu. Sejak kita mengenal istilah Indonesia, belum pernah terjadi bencana alam sedahsyat itu. Ratusan ribu jiwa manusia menjadi korban, kota-kota hancur, kehidupan seolah kembali ke titik nol lagi.
Selain korban jiwa, korban harta benda, hancurnya gedung-gedung, jalan raya, serta berbagai fasilitas sosial, persoalan lain yang tidak kalah mengerikan, yaitu fenomena trauma pascabencana. Sejak bencana terjadi, ribuan korban yang selamat dilanda stres hebat. Sebagian dari mereka takut melihat air, padahal semula mereka tinggal di kota-kota pantai, sebagian yang lain mereka mengalami guncangan jiwa kerena mereka telah kehilangan keluarga, teman-teman, lingkungan, atau boleh jadi kehilangan harapan akan masa depan. Pemerintah bukan saja wajib memulihkan kota-kota di Aceh, namun juga memulihkan rasa percaya diri masyarakatnya.
Siapa pun yang kehilangan keluarga atau apa pun yang dicintai, pasti akan merasa stres (tertekan). Jika proses kehilangan itu terjadi mendadak, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, sifat tekannya jauh lebih berat. Wajar jika Allah akan membalas kesabaran orang-orang yang tertimpa musibah itu dengan surga.
Rasulullah saw. Bersabda,
“Allah ta-ala berfirman, ‘tidaklah seorang hamba-ku yang beriman akan menerima balasan di sisi-ku, ketika Aku ambil kekasinya dari kalangan ahli dunia (manusia yang hidup didunia), kemudian dia mengarapkan pahala dari-Ku (setelah kejadian itu), melainkan (balasanya) surga.” (HR Bukhari)
Kita berlindung kepada Allah agar tidak tergelincir hati karena tertimpa musibah. Kita berlindubg kepada-Nya dari musibah yang datang secara tiba-tiba, yang bisa mengempaskan hatike dalam kesedihan yang mendalam. Kita pun berlindung dengan keagunggan-Nya dari menanggung sesuatu yang tidak kuasa kita memikulnya. Allahumma amin.
B. Kesulitan Ekonomi
Kesulitan ekonomi merupakan faktor penyebab stres yang sangat populer. Bulan juli tahun 2003, PT Dirgantara Indonesia (PTDI,dulu IPTN) merumahkan sekitar 9600 karyawannya (3000 di antaranya dipanggil bekerja kembali). Langkah ini merupakan PHK besar-besaran setelah PTDI juga merumahkan ribuan karyawannya di tahun 2000 (Metro Bandung, juli-agustus 2003).
Sebagai keputusan manajemen, PHK bisa dimaklumi. Jika PTDI sudah tidak mampu lagi menggaji pegawainya, apa boleh buat? Namun, ongkos sosial di balik keputusan PHK itu sangatlah pahit. Ribuan karyawan dan keluarganya merasa sangat tertekan. Sebagian mereka mampu bersikap tegar, sebagain lain terpaksa berurai air mata, yang lainnya lagi menderita stres, bahkan ada yang sampai terganggu jiwanya. Semua ini merupakan ongkos sosial yang benar-benar harus dihitung oleh para elite manajemen sebelum mereka mengambil langkah dramatis.
Selain di PTDI, kasus PHK massal juga terjadi di berbagai tempat. Sejak krisis moneter 1997 terjadi banyak kasus PHK. PHK merupakan cara paling mudah bagi perusahaan-perusahaan untuk menyelamatkan bisnis mereka. Tentu saja kasus-kasus itu semakin menggelembunkan angka penganguran di tanah air. Lebih dari itu, ia melahirkan masyarakat stres.
Jika di lihat dari sisi positif, kesempitan ekonomi sebenarnya tidak perlu menimbulkan stres. Coba perhatikan kehidupan masyarakat dipedesaan. Mereka hidup dengan standar ekonomi yang jauh di bawah standar masyarakat kota, namun mereka tetap tenang, tidak menderita stres. Mangapa demikian? Mengapa masyarakat kota mudah stres sedang masyarakat pedesaan tidak?
Ada beberap alasan yang bisa dikemukakan, yaitu sebagai.
1. kehidupan masyarakat kota cenderung materialistis. Mereka lebih percaya dengan prinsip “uang adalah segala-galanya” daripada meyakini kemurahan Allah dan keluasan rezeki-Nya. Hati masyarakat kota cenderung terpaut dengan uang: jika ada uang hati tenang, jika tiada uang hati dipenuhi kecemasan. Dengan mutu keyakinan sepeti itu, wajar jika masyarakat perkotaan mudah menderita stres, mereka terlalu menggantungkan nasib kepada uang. Sumber ketenagan hati adalah Allah, bukan uang. Siapa yang menggantungkan diri kepada Allah, hatinya akan tenang. Pada gilirannya kemudian, dia jadi lebih mudah mencari uang.
2. keimanan yang lemah menimbulkan hasad (iri hati) kepada orang lain yang memiliki kelebihan-kelebihan. Hasad berpotansi menghancurkan kebaikan,. Ketika orang dilanda hasad, dia meremehkan karunia Allah dan selalu menginginkan apa yang dimiliki orang lain. Mereka mencari harta bukan untuk dinikmati, tapi untuk memuaskan rasa iri di hati. Orang-orang itu sangat suka membanding-bandingkan fasilitas milikinya dengan fasilitas yang dimiliki orang lain. Jika melihat orang lain lebih baik, mereka meresa tertekan sebelum bisa menyamainya. Tentu saja, tentu saja buah dari cara hidup seperti ini adalah: stres!
3. Gaya hidup boros (konsumtif) menyebabkan manusia selalu hidup dalam kekurangan berapapun pendapatan diperoleh, ia tidak pernah mencukupi, sebab belanja yang dikeluarkan selalu lebih tinggi dari pendapatan yang diperoleh. Seperti kata pepatah , “ besar pasak dari pada tiang.” Ketidakseimbangan antara pendapatan dan belanja memaksa banyak orang melakukan cara apa pun untuk menutupi kekurangan. Bagi yang jujur, meraka lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Paling tidak, meraka akan meminjam uang kepada sumber-sumber tertentu. Namun bagi orang-orang yang gelap mata mereka akan menempuh cara kriminal, menipu, atau melakukan korupsi, jika sikap membabi buta itu terus diikuti, jiwa mereka semakin tertekan oleh rasa bersalah dan dosa. Pada titik tertentu, ketika tekanan perasaan sudah sangat berat, stres pun terjadi.
4. Masyarakat kota banyak yang telah meremehkan kepentingan akhirat. Mereka beragama, namun tidak menjalankan niali-nilai agama itu. Perkara-perkara haram diterjang, barang syubhat digeluti, kezaliman dianggap biasa, manipulasi, korupsi, menjadi tradisi. Mereka hidup tanpa arah yang jelas , selain untuk dunia itu sendiri. Mereka lebih tampak sebagai hamba dunia daripada Allah. Hal ini tentu sangat potensial melahirkan kesengsaraan jiwa, keresahan hati, dan aneka rupa kesulitan hidup. Na’udzubillah min dzalik.
Keyakinan yang lemah membuat kita tidak kuasa menghadapi gempuran-gempuran budaya materialisme. Kita sangat terpengaruh terhadap budaya itu, lalu hidup merana sambil menaggung stres. Seharusnya, kita berpegang kepada tali agama Allah, sebab ia adalah sekuat-kuat tali pegangan.
“Maka barangsiapa yang mengingkari thagut (sesembahan apapun selain Allah) dan dia beriman kepada Allah (bertauhid), maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui .” (al-Baqarah[2]:256)
C. Kegagalan Usaha
sebab lain yang sering menimbulkan stres adalah kegagalan.kadang terjadi di sela-sela sukse yang di raih. Namun kadang ia terjadi beruntun, satu kegagalan diikuti kegagalan-kegagalan berikutnya. Ada ungkapan bijak, “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.” Sayang tidak semua orang tidak mau belajar dari ungkapan itu. Bahkan mngkin, di antara meraka ada yang belum pernah mendengar ungkapan itu sama sekali. Menyedihkan!
Bagi orang-orang arif, kegagalan dianggap sebagai peristiwa hidup biasa. Akan tetapi, di mata mausia pesimis, kegagalan dianggap bencana besar. Kegagalan mereka tafsirkan sebagai nasib hidup, aib memalukan, bukti ketidakbecusan diri, bukti bahwa hidup ini kejam tanda masa depan suram, dan berbagai tafsiran buruk lainnya. Di mata orang-orang itu, kegagalan bernialai sangat suram. Padahal, setahu saya, tidak satu pun orang sukse yang manusia peroleh melainkan sebelum itu telah terjadi kegagalan-kegagalan. Justru sukses itu terjadi berharga karena sebelumnya telah terjadi berbagai kegagalan.
Seorang mubalig kondang mengatakan “Kegagalan itu tidak ada. Yang ada adalah tidak berani mencoba.” Menurut saya, kegagalan itu jelas ada, sebagaimana sukses juga ada. Mengingkari kegagalan, justru sulut dimengert. Salah satu rukun iman adalah percaya kepada takdir (takdir baik dan takdir buruk). Di antara contoh takdir buruk adalah kegagalan, soal berani mencoba atau tidak, itu adalah soal sikap. Ia tidak bisa dijadikan alasan untuk mengingkari kegagalan.
Kegagalan semestinya tidak perlu ditakuti. Allah Maha Pemurah, jika seseorang telah berusaha secara layak, dia pasti akan diberi karunia kebaikan, mungkin saja, sebelum karunia itu diberikan, perlu terjadi kegagalan-kegagalan tertentu. Semua kegagalan tersebut terjadi hanya sekedar sarana untuk memastikan bahwa kita telah bekarja secara layak dan kita telah siap memikul karunia. Allah tidak akan menzalimi manusia, sekalipun mereka kafir.
Di zaman dulu, orang-orang jepang sangat hebat dalam berjuang. Di kalangan mereka ada tradisi yang sangat buruk, yaitu harakiri (bunuh diri). Kalau seseorang gagal dalam usaha, dia meresa malu, lalu melakukan harakiri untuk menebus rasa malu. Di suatu tempat sunyi, pelaku harakiri akan membelah atau menusuk perutnya sendiri dengan samurai khas jepang, lalu mempersembahkan kematian itu untuk matahari. Nau’dzubillah wa na’udzubillah.
Kita pun bertanya-tanya, mereka telah berkorban luar biasa, lalu kapan mereka akan menikmati hasil perjuangannya? Ketika hidup di dunia, mereka tidak kebagian, lalu dengan bunuh diri mereka kehilangan harapan di akhirat. Allah murka terhadap orang waras yang mengakhiri hidupnya denaga bunuh diri. Di sini kita menjumpai bukti kemuraha Allah. Meskipun para pelaku harakiri itu telaj menempuh cara yang sangat hina dan tercela, Allah tetep membalasi pengorbanan mereka denagn cara memberikan kemakmuran kepada anak-cucu mereka. Generasi baru jepang tinggal menikmati hasil pengorbanan para pendahulu mereka.
“…..Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami memberikannya kepadanya. Dan siapa yang menghendaki pahala akhirat, niscaya kami berikan (juga) ia kepadanya. Dan kami akan memberikan balasan bagi orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran [3]: 145)
Ini hanyalah penegasan bahwa kegagalan itu biasa dan setiap usaha manusia tidak ada yang sia-sia. Semua pengorbanan manusia akan dibalas oleh Allah ta’ala, baik berupa balasan dunia maupun akhirat. Tinggal kita mw bersabar atau tidak menanti balasan itu.
D. Tekanan Rasa Jenuh
Sebab selanjutnya yang potensial menimbulkan stres adalah kejenuhan. Kejenuhan adalah “penyakit” yang menekan jiwa. Orang jenuh ibarat badan yang tegap, besar, kekar, tapi tidak mempunyai tenaga. Fisiknya kelihatan bagus, tapi daya tidak ada. Hilangnya kekuatan ini bukan kerena tidak makan, akibat keracunan, menderita sakit, atau habis bekerja berat. Ia terjadi justru karena hilangnya minat, muncul resa segan dan bosan terhadap kesibukan yang dilakukan secara berulang-ulang.
Kita bisa membayangkan bagaimana rasanya jenuh melanda. Seseorang ingin terus bekerja, berkarya, atau menghasilkan sesuatu, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan kerena muncul rasa segan, tidak suka, atau benci di hati terhadap sesuatu berkembang bisa menimbulkan stres.
Sebuah cacatan menarik tentang perilaku hewan-hewan di kebun binatang. Penghuni kebun binatang rata-rata hewan liar yang biasa hidup di alam bebas, jauh dari kebisingan aktivitas manusia. Namun, setelah masuk kebun binatang mereka di paksa tinggal di kandang-kandang sempit, tidak bisa bergerak kemana-mana, hanya berputar di sekitar kandng itu. Makanan disediakan, tapi menunya sangat menonton. Di kebun binatang, binatang-binatang tidak mengalami pengalaman-pengalaman seperti di alam bebas. Kondisi ini sering meyebabkan hewan-hewan tersebut stres. Apalagi ketika kunjungan manusia ke kebun binatang sangat sering dan banyak , hal itu lebih menekan lagi. Jika hewan bisa stres, apalagi manusia.
Kasus serupa terjadi di ruang-ruang tahanan. Bagi mereka yang suka tantangan, tidak mau diam, atau tidak pandai mengisi waktu luang, mereka bisa mengalami kehancuran mental di dalam sel-sel tahanan. Berbeda dengan orang-orang yang suka belajar, membaca, atau merenung, penjara justru menjadi “surga” bagi meraka. Maka wajar jika di penjara sering terjadi kasus-kasus buruk, misalnya tawuran antarpenghuni. Mereka mencari sesuatu yang berbeda untuk megusir kejenuhan. Kejenuhan yang hebat bisa menimbulkan stres, sedang stres berat bisa membuat orang menjadi gila.
Saya sarankan anda membaca buku saya yang lain, mengatasi kejenuhan yang diterbitakn oleh khalifa (Grup Pustaka Al Kautsar) Jakarta. Di sana, pembahasan persoalan kejenuhan memperoleh porsi yang memadai.
E. Terlibat Konflik
Sebab lain yang memicu stres adalah konflik (permusuhan). Seseorang bermusuhan dengan orang lai, sebuah keluarga bermusuhan dengan keluarga lain, sebuah komunitas bermusuhan dengan komunitas lain, dan sebagainya. Konflik berpontensial menimbulkan stres.
Ada beberapa situasi buruk ketika konflik tengah terjadi dan hal tersebut sangat menekan jiwa. Situasi-situasi itu adalah sebagai berikut.
1. kedua belah pihak selalu meresa camas memikirkan ancaman-ancaman dari musuh-musuhnya. Mereka khawatir jika musuh tiba-tiba datang, menyergap, lalu menganiaya mereka.
2. kedua belah pihak merasa takut jika teman-temannya menghianati, atau musuh-musuhnya mendapat bala bantuan besar, atau rahasia kekuatan mereka terbongakar, atau ada mata-mata yang diseludupkan di tengah-tengah mereka .
3. ketika konflik telah menimbulkan korban, hal itu bisa menimbulkan trauma serius di hati keluarga korban dan pelaku kekerasan. Bagi keluarga korban, mereka sangat kecewa dan sakit hati; bagi para pelaku mereka selalu di hantui rasa bersalah. Munking membunuh nyawa seorang manusia iutu mudah tetapi mengusir rasa bersalah yang menghantui hati, bagaimana caranya?
4. ketika area konflik meluas, melibatkan banyak kekuatan, diketahui orang banyak, diwariskan ke anak-cucu, hal ini sama saja dengan menyebarluaskan kecemasan sehingga semakin meluas dan meresap dalam.
Dalam Islam kita dilarang berkonflik, kecuali dengan alasan yang benar dan dalam bata-batas yang diperbolehkan. Konflik dalam Islam bukan merupakan tujuan, hanya sarana untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Jika hidup ingin aman dan tentram, jauhilah segala bentuk konflik yang tidak perlu, terutama konflik dengan suadara. Jika konflik itu telah terjadi, padahal hal itu tak perlu terjadi, maka jangan malu-malu untuk mengalah atau meminta maaf terlebih dulu.
“sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat.” (al –Hujuraat [49]: 10)
F. Tekanan Lingkungan
Kita hidup tidak lepas dari lingkungan sekeliling, prajurit, dokter, pedagang, dan sebagainya, mereka semua memiliki lingkunagan sendiri-sendiri. Paling tidak, setiap orang memiliki keluarga dan keluarga merupakan lingkungan terkecil.
Hubungan antara seseorang dan lingkungan, kadang berjalan harmonis, namun kadang berjalan buruk. Situasi hubungan yang buruk sangat menekan peresaan, jika hal itu tidak segera di beri terapi, ia bisa memicu stres.
Saya pernah terlibat dalam suatu lingkugan yang penuh kepalsuan. Di mata umum, lingkungan itu terlihat sejuk, tentram, propesional, modern, dan maju. Namundi bawah permukaan kehidupan di sana sangat berat. Orang-orang di tempat itu sudah sepakat untuk menggunakan dua muka, muka dalam dan muka luar. Muka luar tampak sangat manis, tapi muka sangat seram.
Saya mampu bertahan di tempat itu kurang selama dua tahun. Sebagian besar disana saya lalui dalam tekanan stres berat. Bagaimna tidak, setiap hari harus melihat kepalsuan-kepalsuan yang mencolok mata? Apakah seseorang mampu terus-menerus menipu diri? Berulang kali saya mengutarakan niat ingin keluar dari tempat itu, namun belum menemukan jalan hingga suatu ketika, terjadi perselisihan antara saya dan pimpinan, hal itu saya jadikan kesempatan untuk menyelamatkan diri dari lingkungan tersebut. Walhamdulilah, setelah keluar dari lingkungan itu, berangsur-angsur hati mulai merasa lega dan lapang.
Kasus yang sama bisa dirasakan oleh siapa pun yang merasa tertekan dengan situasi lingkungan. Di tengah masyarakat banyak terjadi kasus stres, misalnya seorang pembantu rumah tangga stres karena perilaku kejam majikan, seorang istri stres melihat tingkah suami, orang tua stres melihat tingkahlaku anak-anaknya, para pemimpin stres melihat sikap anak-buahnya (atau sebaliknya), seorang pelajar stres melihat situasi kelas yang buruk, dan lain-lain.
Lingkungan adalah sesuatu yang maya (tidak teraba), namun jika bermasalah dengan lingkungan, resikonya pahit. Jika seseorang bermasalah dengan lingkungan dan dia tidak menemui tititk-titik solusi atas persoalan itu, sebaiknya ia segera berhijrah ketempat lain.
Jika terus bertahan, stres akan semakin buruk, dan jika berpindah, mudah-mudahan ada harapan baru yang lebih baik.
Hanya perlindungan Allah saja yang akan memuaskan harapan seseorang terhadap kebutuhan keselamatan, di mana pun, dan kapan pun. Sallimna Rabbana, innaka antas salam, wa minka salam tabarakta yaa dzal jalali wal ikram. Amin.
G.Sanksi Sosial
Sebab stres lain adalah sanksi sosial dari masyarakat, sanksi sosial berbeda dengan hukuman yang biasa di jatuhkan pengadilan-pengadilan. Sanksi sosial biasanya bukan berupa hukuman fisik (kekerasan), namun akibatnya sangat pedih. Sanksi sosial biasanya diberikan jika seseorang telah melakukan tindakan-tindakan tidak senonoh yang sangat tercela dimata masyarakat. Setelah perbuatan itu dilakukan seseorang segera mendapat celaan dari masyarakat, citra negatif, caci maki, sumpah serapah, boikot, atau sanksi pengucilan. Kejadian terbongkar dan tersiar sacara luas. Di sini tidak dibutuhkan proses pengadilan yang berbelit-belit. Banyak perbuatan yang di mata hukum negara boleh-boleh saja, tapi dimata hukum sosial menjadi aib yang memalukan. Sanksi hukum negara bisa dijalani batas-batas tertentu tapi sanksi di mata masyarakat dalam memelihara bisa berlangsung selama orang itu masih hidup. Inilah cara masyarakat dalam memelihara kehormatan dan moral. Sebagian cara terpuji, sebagian lain tidak.
Misalnya, seseoramg terbukti telah terbukti korupsi, menjadi makelar pelacuran, melakukan zina, hamil diluar nikah, memperkosa wanita, meggugurkan kandunga, dan lain-lian, maka sanksi sosila akan segera menyambut orang itu jatuhnya sanksi itu sangat berat. Betapa tidak seseorang sepeti dimusuhi oleh orang sekampung. Walau masyarakat tidak menimpah hukuman fisik, tapi hati mereka memusuhi. Ini sangat berat dan ia berpontensial menimbulkan stres.
Mekanisme sanksi sosial kadang bisa menjatuhkan citra seseorang di mata publik, jika seseoramg sudah jatuh citranya, dia akan kehilangan untuk berkiprah secara leluasa di tengah-tengah masyarakat. Kadang upaya menjatuhkan citra itu dilakukan secara sengaja, tanpa bukti-bukti yang jelas. Hal, itu kerap disebut pembunuhan karakter (character assassination).
Akibat tekanan sosial, sebagian orang memilih pergi dari tempat tinggalnya, mencari tempat baru, bergaul dengan masyarakat yang berbeda, serta membangun hidup dari nol kembali. Sanksi sosial benar-benar berat. Hanya dengan pertolongan dan penjagaan dari Allah swt. Kita bisa terbebas dari belengguh-belengguh yang akan dikalungkan oleh orang-orang itu di leher kita, selama kita hidup. Semoga Allah melindungi kita semua. Amin.
H. Keyakinan Merusak
sebab selanjutnya yang berpotensi memicu stres adalah keyakinan (akidah) merusak. Ini adalah sebab terakhir yang saya sebutkan di sini. Keimanan yang benar adalah faktor yang paling kuat pengaruhnya terhadap kebahagian hidup manusia. Sebaliknya, keyakinan yang rusak (batil) merupakan sebab yang paling buruk yang akan mengundang kesempitan jiwa, kegelisahan hati, serta kesulitan yang tiada habisnya.
Sebagian kelompok-kelompok pengajian tertutup mengajarkan keyakinan yang sangat buruk. Di antara mereka mengemukakan konsep baiat. Di sini, seseorang yang masuk kelompok itu harus bersyahadat di depan orang-orang tertentu yang mereka tentukan. Proses syahadat itu kemudian disebut dengan baiat (transaksi). Setelah bersyahadat, dia baru diakui sebagai anggota kelompok. Bahkan, dia baru diakui sebagai muslim. Adapun orang-orang yang berada di luar kelompok itu dianggap kafir, sebab mereka belu berbaiat seperti aturan mereka. Baiat seperti ini telah banyak memisahkan para suami dan istrinya, anak-anak dari orang tuanya, serta saudara dari kakak-adiknya.
Kalau ditanya, mengapa seseorang harus bersyahadat lagi, padahal dia sudah muslim sejak kecil? Mereka menjawab, “di zaman rasul dulu, setiap orang yang masuk islam harus bersyahadat di depan rasul, maka kita oun harus bersyahadat seperti cara di zaman rasul dulu.”
Ketika diingatkan bahwa di zaman sekarang sudaj tidak ada Rasul, mereka menjawab, “Rasul itu bertindak selaku imam, maka kita sekarang harus bersyahadat di hadapan imam umat Islam.” Lalu siapakah Imam umat Islam sekarang? Mereka menjawab, “Dia adalah pemimpin yang dipilih untuk menegakkan hukum Islam. Dia adalah pemimpin kami,” lalu bagaimana jika setiap kolompok mempunyai iman sendiri-sendiri, siapa yang benar untuk diikuti?
Katakanlah, kita setuju dengan imam mereka lalu apakah setiap muslim wajib bersyahadat di hadapan dia? Mereka menjawab, “Tidak! Hal itu bisa dilakukan melalui wakil-wakil yang ditunjuk oleh imam tersebut. Mereka adalah pengikut setia imam melalui orang-orang itulah kita bersyahadat.”
Keimanan dianggap tidak sah jika seseorang belum bersyahadat di hadapan imam. Jika imam terlalu sibuk atau terlalu terhormat untuk menjadi saksi syahadat bagi orang-orang kecil, dia memberi hak kesakasian kepada wakil-wakilnya. Setiap orang yang “mau masuk Islam” harus bersyahadat di depan wakil imam. Wakil imam sebelumnya telah bersyahadat di depan atasanya. Demikian seterusnya, sehingga akhirnya puncak kesaksian berujung di posisi tertinggia, yaitu imam itu sendiri.
Saya bertanya-tanya dan hal ini bukti kehancuran keyakinan tentang baiat (syahadat) ulang itu. Pertanyaan saya adalah: lalu imam bersyahadat di hadapan siapa? Apakah dia bersyahadat sendiri atau dia bersyahadat dihadapan ulama-ulama yang masih “kafir”, lalu setelah itu ulama-ulama tersebut dilantik oleh imam menjadi muslim? Atau, dia di angkat menjadi pemimpin oleh pemimpin lain dari negeri seberang dengan cara yang sangat rahasia sehingga tidak satu pun rakyat yang tahu tentang pengangkatan itu?
Atau jangan-jangan, imam itu merasa telah bersyahadat di hadapan Allah dengan di saksikan para malaikat sehingga dia berani menerapkan syariat-syariat baru setelah Allah menyempurnakan agama ini? Na’udzubillah min dzalik. Itu adalah jalan Musailamah al-kadzdzab dan para pengikutnya.
Keyakinan yang batil sangat kuat pengaruhnya, sangat menganggu ketentraman jiwa, meresahkan hati, menimbulkan konflik, bencana, dan kesempitan berlarut-larut. Jika anda tahu atau mengalami kasus seperti ini, cepat tinggalkan semua urusan itu. Jangan sampai iman anda terlepas tanpa anda sadari. Orang-orang yang meyakini ada syariat baru setelah agama ini setelah agama ini disempurnakan oleh Allah, berarti mereka megingkari Rasulullah saw. Sebagai penutup para nabi. Itu artinya, mereka telah mengungcang akar keimanannya sendiri.
Konsep baiat ini hanyalah contoh kecil diantara berbagai penyimpangan akidah yang tumbuh subur diantara di tengah masyarakat. Umat Islam Indonesia disebut-sebut sebagai kaum yang terlalu longgar dalam soal keyakinan. Kita cenderung toleran terhadap siapa pun yang ingin mengembangkan “bakat” sebagai para “kreator” aturan-aturan baru. Wajar saja jika umat di negeri ini tidak berdaya, sebab mereka sangat bernafsu menempuh cara-cara baru yang sama sekali jauh dari keteladanan Rasulullah saw. Dan para sahabatnya r.a.
Keyakinan-keyakinan batil sangat merusak ketentraman hati, jika ia tidak segera mendapat solusi yang tepat, stres akan terjadi sesudah itu. Islam adalah ajaran hidup yang mudah, adil, dan seimbang, jika seseorang mengambil agama ini dengan cara yang tidak benar, akibatnya adalah penderitaan belaka.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan megikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masuk ia ke dalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (an-nisaa’[4]: 115)
Demikianlah paparan tentang sebab-sebab stres. Meskipun pemaparan ini tidak tuntas benar, mudah-mudahan ia menjadi tambahan wawasan yang bermanfaat. Di bagian selanjutnya kita akan mulai membahas konsep-konsep solusi stres secara bertahap. Hanya kepada Allah kita memohon hidayah dan taufiq. Amin.
Wallahu a’lam bish-shawwab.